Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Jum'at, 19 Maret 2021 | 12:20 WIB
Mardizon Tanjung saat menjalani vaksinasi Covid-19. [Suara.com/Muhlis]

SuaraSumut.id - Beberapa penyandang disabilitas mengungkapkan perasaannya usai menjalani vaksinasi Covid-19.

Acara berlangsung di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Jalan Jamin Ginting, Simpang Selayang, Medan, Kamis (18/3/2021).

Kaum divabel menjadi salah satu yang paling merasakan dampak dari pandemi Covid-19. Selain berkekurangan secara fisik, mereka juga terhalang dalam mencari nafkah selama pandemi melanda.

David Sitorus, satu dari banya penyandang disabilitas menceritakan bagaimana getirnya situasi saat-saat pademi terjadi di Kota Medan.

Baca Juga: Kapolda Irjen Eko Indra Harap Suara.com Sebarkan Kebaikan di Usia ke Tujuh

Warga Desa Lau Bakri, Kecamatan Kutalimbaru ini masih ingat betul bagaimana saat awal mula merebaknya virus Covid-19 sekitar setahun yang lalu itu.

Kepala keluarga yang hanya berprofesi sebagai penjahit dan penari becak, kondisi ekonomi keluarganya sangat terhempas. Saat itu orang-orang mulai membatasi ruang geraknya dan lebih banyak dirumah sesuai anjuran pemerintah. Dilain kondisi, orderan menjahit baju turut sepi.

"Mau narik becak gak ada orang, terus mau menjahit pun gak ada yang mengantar jahitan karena semua takut Corona, jadi gak berani keluar rumah. Paling ada satu dia orang aja," katanya.

Hari-hari yang dilalui David saat itu berubah drastis. Masa paling 'kritis' yang dirasakannya dimulai sejak awal April 2020. Kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi dari beberapa sewa yang dia antar dan mengandalkan tabungan yanga ada.

Kondisi perekonomiannya mulai sedikit terbantu saat beberapa pihak baik swasta maupun dari pemerintah mulai menyalurkan bantuan.

Baca Juga: Lagi, Dharma Wanita Kemnaker Salurkan Bantuan ke Mamuju

"Kalau ada sewa dan dapat sedikit yang dibawa pulang, itu lah untu belanja. Kadang ya mengandalkan simpanan yang ala kadarnya. Bantuan ada juga, dan itu harus kita syukuri bisa menopang kebutuhan saat itu," kenangnya.

Hal yang sama dikatakan Mardizon Tanjung, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sumatera Utara. Profesi Mardizon sama dengan kebanyakan teman-temannya di Pertuni Sumut yakni memijat.

Virus Corona yang saat itu mulai merebak sejalan dengan imbauan menjaga jarak dan memakai masker dari pemerintah. Hal itu adalah pilihan berat bagi penyandang disabilitas. Berhenti memijat berarti berhentinya asap mengepul di dapur.

"Kalau mijat (memijat) kan harus bersentuhan langsung, nah saat Covid-19 itu terpaksa kita berhenti total," kata Mardizon.

Demikian pula dengan teman-temannya seprofesi yang tergabung dalam Pertuni Sumut. Mereka terpaksa mengandalkan penghasilan yang dikumpul sebelum pandemi melanda.

"Makan apa adanya, kalau adanya telur ayam ya itu yang kita makan," ujarnya.

Meski penuh risiko, memijat tetap dilakoni oleh beberapa dari anggota Pertuni, termasuk Mardizon. Desakan kebutuhan membuat mereka nekat harus bertaruh dengan pandemi. Namun yang mereka pijat hanya langganan yang sudah mereka kenal saja.

Ada yang sengaja memanggil datang ke rumah dan ada pula yang sengaja datang ke tempat pemijatan.

"Kadang pelanggan ini yang takut, kalau kita ya mau gimana memang itu mata pencaharian kita. Pernah kita buat terobosan agar pelanggan tidak takut yaitu pakai sarung tangan. Tapi yang namanya memijit itu kalau gak langsung bersentuhan, rasanya enggak afdhol. Kan ada tu urat yang memang harus kita urut dengan jari, kadang kalau pakai sarung tangan licin," ungkapnya.

Dalam kondisi ekonomi yang terjepit, mereka masih mendapatkan rezeki dari orang-orang yang diberi kelapangan termasuk bantuan dari pemerintah. Bantuan berupa bahan pokok mulai mereka terima saat pandemi memasuki bulan kedua.

Secara pendapatan dari memijat tetap belum ada perubahan. Beberapa bulan setelah Ramadhan, kondisi mulai membaik. Panggilan memijat mulai berdatangan hingga hari ini, namun dengan protokol kesehatan yang ketat.

"Kita sediakan di meja handsanitizer, wajib memakai masker. Kemudian kalau biasanya seprei itu dua pelanggan baru diganti, sekarang setelah memijat satu orang langsung diganti," bebernya.

Kabar baik datangnya vaksin yang sampai ke telinga para penyandang disabilitas menambah keyakinan bahwa badai akan segera berlalu. Mereka menyambut baik meski belum mendapat vaksin.

Beruntung, Mardizon menjadi orang pertama dari Pertuni Sumut yang diberikan vaksin. Sedangkan teman-temannya masih menunggu waktu.

David Sitorus dan Mardizon Tanjung sangat bersyukur hari ini telah menerima vaksinasi dari pemerintah secara gratis.

Setelah mendapatkan vaksin, keduanya senada mengatakan semakin yakin menjalani hari-hari meski harus tetap menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah.

"Kalau Covid-19 tetap takut ya, itu yang harus kita jaga bersama, tapi setelah divaksin tentunya mulai lega," pungkasnya.

Kontributor : Muhlis

Load More