SuaraSumut.id - Banjir bandang yang melanda Bangun Dolok dan Sualan, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara beberapa waktu lalu disebabkan kerusakan ekosistem kawasan hutan di wilayah Sitahoan.
Hal itu berdasarkan fakta di lapangan dan analisis citra satelit yang dilakukan tim dari Walhi Sumut, KSPPM dan AMAN Tano Batak.
Deputi Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut, Roy Lumban Gaol mengatakan, hasil temuan tim investigasi bersama terdapat pembukaan kawasan hutan lindung di hulu aliran Sungai Batu Gaga di atas Kota Parapat yang merupakan satu landscape kawasan hutan lindung.
"Masifnya pembukaan tutupan kawasan hutan yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pupl Lestari (TPL) berpengaruh terhadap ketidakseimbangan ekosistem," kata Roy dalam keterangannya, Minggu (23/5/2021).
Selain itu, ada industri diduga melakukan aktivitas penebangan kayu di Kawasan Hutan Wilayah Sitahoan yang menjadi bagian dari Daerah Tangkapan Air (DTA).
"Meski sudah seringkali diadukan oleh media dan masyarakat tapi tidak ada Tindakan tegas dari pihak yang berwenang," ujarnya.
Dalam tiga tahun terakhir, kata Roy, perubahan iklim sudah dirasakan di kawasan Danau Toba termasuk di Girsang Sipangan Bolon. Hal ini ditandai dengan musim penghujan lebih lama dibandingkan musim kemarau.
"Perubahan iklim ini tentunya juga disebabkan oleh kerusakan hutan dan ekosistem di Kawsan Danau Toba," ujarnya.
Banjir bandang telah memberikan dampak buruk bagi masyarakat lokal, seperti rusaknya lahan pertanian kopi dan persawahan masyarakat. Selain itu, rusaknya wilayah pemukiman, terputusnya akses jalan masyarakat, dan rusaknya sumber air bersih.
Baca Juga: Bayern Tutup Musim Libas Augsburg 5-2, Lewandowski Patahkan Rekor Top Skor
"Ini memberikan efek traumatis terhadap masyarakat lokal, khususnya bagi kelompok anak, perempuan, lansia dan disabilitas," katanya.
Roy menjelaskan, rusaknya ekosistem dan bentang alam di kawasan Girsang Sipangan Bolon sekitarnya akibat semakin berkurangnya tutupan hutan. Maka sangat dimungkinkan potensi ancaman bencana ekologis yang lebih besar akan terjadi lagi di masa mendatang.
"Kondisi ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah daerah, Provinsi dan Nasional agar segera melakukan tindakan komprehensif dan menerbitkan kebijakan dalam rangka mitigasi bencana," tukasnya.
Berita Terkait
-
Banjir di Jalan Kalis-Putussibau Mulai Surut, Kendaraan Bisa Melintas
-
Dear Pemkab, Korban Banjir Bandang di Cigudeg Butuh Pasokan Air Bersih
-
Hamil 9 Bulan, Halima Panjat Genteng Demi Selamat dari Banjir Bandang
-
Bupati Bogor Sebut Penyebab Banjir Bandang di Cigudeg Akibat Tambang Liar
-
Korban Banjir Bandang Bogor, Komariah: Habis Sholat Tiba-Tiba Air Masuk
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
Terkini
-
Pertamina Bersihkan Puskesmas Rantau di Aceh untuk Pulihkan Layanan Kesehatan Masyarakat
-
Lokasi SIM Keliling Medan Pekan Ini, Lengkap dengan Syarat dan Jam Operasionalnya
-
Kerugian Banjir di Aceh Timur Capai Rp 5,39 Triliun, Ribuan Rumah Rusak
-
1.955 Kantong Darah Didistribusikan ke Wilayah Bencana di Aceh
-
ARTKARO 2025, dari Kegelisahan Lokal Menuju Ekosistem Seni Rupa Nasional