Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Sabtu, 11 Desember 2021 | 12:58 WIB
Herry Wirawan, guru agama yang diduga mencabuli 12 orang santriwati di sebuah pesantren di Bandung. [Istimewa]

SuaraSumut.id - Petugas Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TPA) Garut mengungkap sejumlah fakta baru, terkait pondok pesantren (ponpes) milik Herry Wirawan, ustaz tersangka pemerkosa 12 santriwati.

Ketua P2TPA Garut, Diah Kurniasari Gunawan mengatakan, santriwati yang menjadi korban pemerkosaan tersangka Herry ternyata diming-imingi biaya pesantren hingga sekolah gratis.

Tergiur dengan iming-iming tersebut, banyak santriwati yang akhirnya memilih menimba ilmu di pesantren milik Herry. Mayoritas korban pemerkosaannya berasal dari Garut, Jawa Barat. Mereka datang ke pesantren itu sejak 2016 atau saat masih duduk di bangku SMP.

“Mereka ke sana karena gratis. Mereka banyak bertalian saudara dan tetangga juga,” kata Diah dikutip dari Digtara.com - jaringan Suara.com, Sabtu (11/12/2021).

Baca Juga: MUI Bandung Ajak Warga Setop Sebar Aib Pemerkosa 12 Santriwati, JJ Rizal: Suram Banget

Kejanggalan berikutnya yakni guru atau pengajar di pesantren tersebut hanya berjumlah satu orang dan itu adalah Herry Wirawan.

Jika pun ada guru lain yang datang, waktunya tidak tentu dan hanya bersifat guru panggilan, tidak seperti halnya sekolah atau pesantren pada umumnya.

“Sisanya (waktu), mereka masak sendiri, gantian memasak, tidak ada orang lain lagi yang masuk pesantren itu,” katanya.

Diah menemukan kejanggalin lain yaitu tidak ada ijazah bagi santri yang telah lulus sekolah.

Diah mengaku bingung pada pesantren tersebut karena ada korban yang disebut telah lulus SMP di pesantren itu, tapi ijazahnya tidak ada.

Baca Juga: Operasional Pesantren Manarul Huda Antapani Dicabut Kemenag, Semua Santri Dipulangkan

Itu sebabnya, P2TPA sempat kesulitan memfasilitasi para korban untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA.

“Ijazahnya ini benar apa enggak, ternyata ada yang sekolah di sana dari SD, ijazah SD enggak ada, ijazah SMP enggak ada, jadi itu harus ikut persamaan,” ujar Diah.

Terakhir, kejanggalan yang ia temui yakni orang tua santriwati diminta untuk membantu pembangunan pesantren.

Dari mulai menyumbang kayu hingga tenaga. Artinya, orang tua santriwati tersebut turut menjadi pekerja untuk membangun pesantren milik Herry.

Padahal, kata Diah, pelaku Herry menyebar proposal untuk mendapat bantuan hingga akhirnya bisa membangun pondok pesantren tersebut.

“Tapi mereka tidak tahu anaknya diperlakukan seperti itu oleh para pelaku,” kata Diah.

Load More