Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Minggu, 28 Juli 2024 | 01:00 WIB
Masyarakat adat Sihaporas saat menggelar audiensi ke DPRD Simalungun. [Dok.Istimewa]

Tetua adat Sihaporas, Mangitua Ambarita mengatakan, pihaknya sudah berupaya menjalankan prosedur yang disediakan oleh pemerintah. Namun perjuangan itu belum membuahkan hasil maksimal. Menurutnya, leluhurnya di Sihaporas sudah ada sejak sekitar tahun 1800-an.

"Sudah 11 generasi kami di Sihaporas, jika dihitung 1 generasi 25 tahun, berarti kami sudah ada lebih 200 tahun yang lalu ada di sana. Ada bukti-bukti di lapangan, seperti batas-batas kampung, bekas perkampungan lama dan makam. Namun karena lambatnya pemerintah memproses ini sehingga selalu saja terjadi konflik di lapangan," tambahnya lagi.

Sementara itu, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Hengky Manalu mengatakan, ada tumpang tindih klaim yang terjadi di Tanah Adat Sihaporas. Sebab, ketika pemerintah mengklaim sepihak tanah adat Sihaporas menjadi hutan negara, kemudian memberikan kepada perusahaan PT TPL tanpa melibatkan masyarakat adat dalam prosesnya.

"Makanya terjadi penolakan dari masyarakat adat atas kehadiran perusahaan, karena berbagai dampak telah dirasakan masyarakat atas kehadiran perusahaan ini. Mulai dari sumber air rusak, hutan untuk kebutuhan ritual adat juga sudah rusak dan perjuangan masyarakat adat harus menghadapi kriminalisasi dari aparat," katanya.

Menurut Hengky, persoalan ini merupakan bentuk diskriminasi oleh pemerintah terhadap masyarakat adat. Sebab, persoalan ini sudah terjadi sejak lama. "Perlu (pemerintah) mempercepat proses pengakuan terhadap masyarakat adat Sihaporas agar ada kepastian hukum terhadap hak masyarakat adat ini," katanya.

Ssalah seorang perempuan bernama Mersi Silalahi menggatakan, suaminya Thomson Ambarita, merupakan salah satu korban penangkapan ulah sengkarut tanah tersebut. Dia mengaku trauma lantaran suaminya ditangkap.

"Mereka harus ramai-ramai tidur di posko. Merasa ketakutan karena menurutnya masih banyak aparat intel yang berkeliaran di sekitar wilayah Sihaporas, juga ada drone yang selalu memantau mereka saat berladang," katanya.

Mersi berharap agar DPRD Simalungun meminta pihak kepolisian tidak tidak melakukan intimidasi lagi kepada masyarakat. "Saya perempuan, sangat rentan (takut) terhadap kejadian ini. Suami saya sudah dua kali ditangkap. Anak-anak saya harus bersekolah dan ekonomi kami pun terpuruk karena kejadian ini," katanya.

Anggota DPRD Simalungun, Maraden Sinaga menyayangkan peristiwa dugaan penculikan ini. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Dia pun meminta masyarakat untuk tidak merasa takut.

"DPRD Simalungun akan mengingatkan hal ini kepada kepolisian, juga hasil pansus ini kita rekomendasi kepada instansi pemerintah daerah dan juga kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," katanya.

Load More