Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Minggu, 11 Agustus 2024 | 11:47 WIB
Edy Rahmayadi dan Bobby Nasution. [Ist]

SuaraSumut.id - PDI Perjuangan secara resmi mengusung Edy Rahmayadi sebagai bakal calon Gubernur Sumut di Pilkada 2024, Sabtu 10 Agustus 2024. Dukungan dari PDIP yang telah cukup kursi untuk mengusung kandidat di Pilkada Sumut, membuat Edy bakal 'head to head' melawan menantu Presiden Jokowi, yakni Bobby Nasution.

Pertarungan ini bakal sengit, sebab Bobby diusung oleh super koalisi yang terdiri gabungan banyak partai, seperti PKS, Gerindra, Demokrat, Golkar, PKB, PAN, Nasdem dan lainnya.

Sementara Edy yang hanya baru diusung PDIP. Lantas, siapa yang bakal unggul di Pilkada Sumut yang mempertemukan Edy vs Bobby sebagai rival? Akankah Bobby dengan super koalisinya bakal menang mudah seperti di Pilkada Medan pada 2020 silam?

Pakar Politik dari UMSU Shohibul Anshor mengatakan jika tidak adanya kotak kosong di Pilgub Sumut 2024, merupakan peristiwa demokrasi yang penting. Dirinya pun menyinggung soal adanya dinasti politik Jokowi di Pilkada Sumut.

"Walau last minutes 'ditinggal' Partai Keadilan Sejahtera (PKS), namun jika ternyata, akhirnya, telah diputuskan bahwa PDIP mengusung Edy Rahmayadi, maka itu bermakna PDIP telah menolak semua bujukan berkoalisi membangun sebuah kotak kosong untuk memuluskan dinasti Joko Widodo di Sumut," katanya kepada SuaraSumut.id, Minggu (11/8/2024).

"Ini peristiwa demokrasi yang sangat penting di tengah gejala kuat 'backsliding democracy' (kemunduran demokrasi) di tangan Joko Widodo. Selain itu saya kira PDIP telah melakukan telisik kritis yang menyeluruh, tak hanya sebatas popularitas dan elaktabilitas, terhadap semua figur yang mendaftar dan pada akhirnya menyadari plus-minusnya," sambungnya.

Shohibul menyampaikan peluang Edy besar, dilihat dari berbagai perspektif. Pertama, Edy petahana yang memiliki kemiripan dengan posisi politik Joko Widodo menjelang Pilpres 2019.

"Waktu itu Jokowi menempati popularitas dan elektabilitas tertinggi di antara figur yang mengemuka. Meskipun demikian, terdapat persentase penduduk yang menginginkannya untuk tidak kembali memimpin. Edy Rahmayadi dikehendaki oleh rakyat untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode kedua, meski terdapat suara yang bertentangan," ungkapnya.

Kemudian, pada tahun 2014-2019 Jokowi fokus pada infrastruktur dan konsolidasi menghadapi masalah Covid-19, sedangkan pada tahun 2019-2023 Edy Rahmayadi menghadapi masalah yang sama, yakni Covid-19 dan rekonstruksi untuk new-normal.

"Fokus program unggulan Edy Rahmayadi relatif sama, yakni pada infrastruktur dan pendidikan," ungkapnya.

Lebih lanjut, Shohibul mengatakan kalau ke-petahanaan selalu sangat penting dalam budaya rivalitas politik di Indonesia. Menurutnya, Pada Pilkada serentak 2024, seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia akan potensil mengunggulkan petahana, karena jejak rekam mereka.

"Memang akan ada negative campaign untuk itu. Namun bahkan black campaign sekalipun tak selalu berhasil karena umumnya sangat mudah diketahui oleh pemilih bahwa narasi diramu hanya untuk kepentingan penantang dan bukan atas dasar objektivitas," jelasnya.

Kedua, kata Shohibul, Indonesia telah menunjukkan keajegan peristiwa kesenjangan antara akumulasi suara parpol dan gabungan parpol dalam pemilu dengan perolehan suara pasangan dalam pilkada.

"Koalisi besar tidak menjadi jaminan," ucapnya.

Tingkat independensi pemilih, ungkap Shohibul, tidak selalu begitu berhasil diintervensi oleh partai-partai dalam pilkada, karena perbedaan aspirasi dan kepentingan.

Pada satu sisi, Shohibul menuturkan, partai lebih mementingkan kekuasaan dan reward awal berupa materi dan janji kekuasaan yang dipersembahkan oleh figur yang diusung dan jejaring kekuasaan di belakangnya. Pada pihak lain, pemilih lebih mementingkan hak-hak konstitusional mereka untuk beroleh pemimpin yang berintegritas.

"Sebetulnya partai dan gabungan partai sangat menyadari masalah ini. Mereka hanya terjebak dalam perburuan kekuasaan dan materi yang tidak pernah terkspose luas," cetusnya.

Ketiga, kata Shohibul, mungkin ada orang yang berusaha membandingkan mudahnya Bobby Nasution menjadi calon Walikota Medan dan menang pada tahun 2020 yang lalu.

Tetapi jangan pernah lupa bahwa bukan hanya suasananya yang akan jauh berbeda, melainkan respek terhadap kekuasaan yang juga sudah sangat jauh berubah saat ini dan apalagi saat Pilkada digelar 27 November nanti.

"Edy Rahmayadi harus segera bergerak cepat. Bina jaringan yang diawaki para insan demokrasi ulet yang mampu menjaga setiap suara di TPS dan arus perjalanannya hingga ke perhitungan akhir di KPU. Bahkan Daftar Pemilih Tetap harus disisir agar tidak ada peluang bermain curang," jelasnya.

Shohibul menyebut sebagai langkah antisipasi, Edy harus mempersiapkan sebaik-baiknya data akurat untuk menghadapi potensi kecurangan yang mungkin saja urusannya harus ditempuh melalui PHPU pada Mahkamah Konstitusi (MK).

Kontributor : M. Aribowo

Load More