HUT Kota Medan ke-431: Kota Majemuk, Miniatur Indonesia

Ia menerangkan, tanggal itu juga berkaitan dengan pembentukan kota-kota pada masa kolonial Belanda.

Suhardiman
Kamis, 01 Juli 2021 | 10:47 WIB
HUT Kota Medan ke-431: Kota Majemuk, Miniatur Indonesia
Monumen Guru Patimpus di Jalan Gatot Subroto Medan. [Suara.com/M Aribowo]

SuaraSumut.id - Kota Medan hari ini, Kamis (1/7/2021) berusia ke-431 tahun. Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara ini telah mengalami perjalanan panjang dari masa Kesultanan Deli, Belanda, hingga masa kemerdekaan.

Hari jadi Kota Medan ditetapkan 1 Juli 1590 silam yang diyakini awal mula Guru Patimpus Sembiring Pelawi yang membuka perkampungan di dataran rawa-rawa di antara Sungai Babura dan Sungai Deli.

"1 Juli diambil dari kedatangan Guru Patimpus, namun kedatangannya ketika itu tidak diketahui tanggal berapa, maka dibuatlah tanggal 1 Juli," kata Sejarawan Muda Kota Medan M Aziz Rizky Lubis, kepada SuaraSumut.id, Kamis (1/7/2021).

Ia menerangkan, tanggal itu juga berkaitan dengan pembentukan kota-kota pada masa kolonial Belanda.

Baca Juga:Gara-gara Terpapar Covid-19, Pria Ini Hanya Bisa Melihat Pemakaman Ibunya dari Ponsel

"Mengapa tanggal 1 Juli? itu kan berkaitan dengan pembentukan kota-kota (Geemente) oleh pemerintahan kolonial Belanda terutama di daerah Sumatera Timur," ungkapnya.

Rizky melanjutkan, pada 1 Juli 1917 ada beberapa daerah yang menggunakan tanggal tersebut tetapi tahunnya berbeda.

"Kalau dasar pemikiran tanggal 1 Juli, tahunnya berbeda tidak tahun 1917, itu ada alasan yang sering disebut Indonesia Sentris, alasan nasionalisme," kata Sejarawan dari Universitas Sumatera Utara (USU) ini.

Ia menjelaskan, secara harfiah asal mula kata Medan berasal dari bahasa Karo. Guru Patimpus yang membuka perkampungan, merupakan seorang berwibawa, dan juga mampu memberikan penyembuhan bagi orang sakit.

"Guru Patimpus seorang pengobat dia, artinya seorang guru yang mampu mengobati, yang saya ketahui kata Medan berasal dari Madan ini berasal dari bahasa Karo artinya menyembuhkan, sembuh," ungkapnya.

Baca Juga:Nekat! Komplotan Maling Satroni Rumah Anggota Marinir di Pasar Minggu, 2 Motor Digondol

"Jadi kalau dalam cerita cerita yang beredar di masyarakat, cerita rakyat, ada ungkapan Guru Patimpus Enggo Madan Kam? dia bertanya kepada seseorang," sambungnya.

Pada tahun 1612, Kota Medan mulai memasuki masa kesultanan. "Medan awalnya kesultanan dari Gocah Pahlawan, dia adalah utusan Aceh yang dikirim kemari," kata Rizky.

Namun sebelum kedatangan Gocah Pahlawan sebagai Sultan Deli pertama, lanjutnya menjelaskan di Kota Medan sudah ada kedatukan.

"Kemudian diangkatlah oleh empat Datuk tadi Gocah Pahlawan, jadi seorang Sultan, tetap dibawah pengaruh Aceh," ungkapnya.

Pada masa Kesultanan Deli, perekenomian kota Medan mengalami pertumbuhan yang baik. "Perekonomian perdagangan mulai dari cukai, kemudian hasil hutan," imbuh Rizky.

Selanjutnya pada tahun 1860-an, Kota Medan memasuki masa kolonialisme Belanda.

"Belanda datang melalui Siak, daerah Riau," ungkapnya.

Belanda masuk dari Siak, karena Aceh pada waktu itu belum bisa ditaklukkan. Di masa Belanda perekonomian berkembang pesat melalui perkebunan, terutama kebun tembakau yang mencapai kegemilangannya. Disini, tembakau tumbuh dengan subur.

"Makanya Kota Medan logonya tembakau, karena memang dari dulu simbol kota, termasuk juga PSMS Medan. Sekarang sudah hilang, jadi istilah deli penghasil tembakau tinggal nama, tinggal logo," tutur Rizky.

Kota Medan Majemuk, Miniatur Indonesia

Memasuki zaman kemerdekaan Republik Indonesia, mulai tahun 1945 hingga sekarang, perekonomian Kota Medan semakin maju lebih pesat dari sebelumnya.

"Tetap perdagangan diutamakan, sektor industri, UKM. Pertanian hilang," ucapnya.

Di usia yang ke-431 tahun, kota Medan menjadi kota modern, terbesar di Indonesia. Kota yang dulunya rawa-rawa, kini berubah menjadi kota metropolitan, dengan gedung-gedung tinggi di pusat kota. Kota Medan menjadi rumah bagi 2,5 juta jiwa dari berbagai suku yang majemuk.

Berbagai etnis mulai Aceh, Karo, Jawa, Batak, Mandailing, Minangkabau, Melayu, Tionghoa, Tamil dan lainnya, hidup berdampingan dengan rukun di kota yang memiliki luas total 265,10 km2.

"Itu harus kita akui Sumatera Utara, Kota Medan itu miniaturnya Indonesia. Jangan dirusak kemajemukan karena itu salah satu kebanggaan kita," pungkasnya.

Kontributor : M. Aribowo

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini