Pemberdayaan Perempuan di Kwala Serapuh, Pelatihan Cocopeat Buka Peluang Ekonomi Baru

Tak jarang usaha tersebut dapat membuka lapangan kerja dan peluang yang lebih luas ke luar negeri.

Suhardiman
Sabtu, 09 November 2024 | 07:33 WIB
Pemberdayaan Perempuan di Kwala Serapuh, Pelatihan Cocopeat Buka Peluang Ekonomi Baru
Sabut Kelapa. [Ist]

Menurutnya, pasar luar negeri sangat menghargai produk kerajinan tangan. Dia sudah membuktikannya saat memasarkan ulos. Harga jualnya bahkan bisa 10 kali lipat harga di local. Selain melakukan analisis pasar, juga penting untuk mengemas strategi pemasaran. Misalnya dengan media social.

Terkait itu, menurutnya yang sangat penting adalah memberi cerita pada produk yang dihasilkan. Dikatakannya, untuk pasar luar negeri, tidak cukup hanya menjual produk saja. Melainkan, pada produk tersebut harus ada cerita yang bisa menggugah orang untuk membeli produk tersebut.

“Selain namanya, harus menarik, juga eco friendly, misalnya kemasannya ramah lingkungan. Tidak dengan plastic, terus harganya kompetitif. Dan ada cerita bahwa dengan membeli produk ini, mereka juga membantu memberdayakan perempuan-perempuan di pesisir," ungkapnya.

Sementara itu, M. Chandra saat berbagi pengalaman tentang usaha cocopeat ini mengatakan, bermula saat Covid-19 melanda dan membuat perekonomian keluarga sulit. Dia berpikir bagaimana bisa meningkatkan ekonomi dari bahan baku yang ada di sekitar desanya.

Workshop Kewirausahaan dan Pelatihan Produksi Cocopeat. [Ist]

Dirinya bertemu dengan teman-temannya yang sudah memproduksi cocopeat lebih dulu. Ia pun mencari tahu di YouTube. Dia mulai membeli mesin pencacah serabut kelapa dan bahan bakunya di desa sekitar. Sedikit demi sedikit menjadi bukit, dia pun berhasil memproduksi dan memasarkannya.

“Cocopeat ini terbuat dari sabut kelapa bermanfaat untuk menyuburkan tanah, menjadi kompos. Bisa dilah menjadi coco fiber sebagai media tanam atau pengganti kain mulsa. Atau bahan pembuat kasur dan sora,” katanya.

Bahan baku serabut kelapa melimpat di Langkat. Harga serabut kelapa sebanyak 1 mobil pikap, hanya Rp 75.000. Dapat diolah menjadi 30 – 50 karung yang mana dalam 1 karung beratnya sekitar 18 kg. Sedangkan harga jual cocopeat, mulai dari Rp 20.000-Rp 38.000.

“Pada awalnya memasarkan produk ini cukup sulit. Sekarang cocopeat banyak diminati untuk proyek pembibitan, konstruksi seperti jalan tol. Bahkan kami sering kewalahan memenuhi permintaan. Satu mesin itu bisa menghasilkan pendapatan bersih Rp 150.000-Rp 200.000,” katanya.

Saat ini, permintaan cocopeat cukup tinggi dan belum bisa dipenuhi oleh 29 mesin yang beroperasi di Langkat di antaranya di Desa Pulau Banyak, Sangga Lima, Sungai Rebat.

“Harapan saya dengan beroperasinya mesin cocopeat di Kwala Serapuh ini, bisa meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Pemasaran tidak perlu khawatir. Kita bisa membuka dan berbagi pasar bersama,” jelasnya.

Ketua Kelompok Putri Mangrove, Putri Handayani mengatakan, selama ini bahan baku cocopeat, yakni serabut kelapa di desanya tidak pernah dimanfaatkan. Dengan adanya mesin pencacah dan pelatihan ini, dia yakin dapat memacu masyarakat untuk memaksimalkan potensi tersebut.

Dengan cocopeat, menurutnya akan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga yang mana sebelumnya ibu-ibu rumah tangga umumnya tidak memiliki pekerjaan. Apalagi, pasar untuk cocopeat ternyata terbuka lebar saat ini sehingga tidak perlu dikhawatirkan.

“Harapan saya dan kelompok ini agar ibu yang tidak punya pekerjaan bisa terlibat sehingga dapat meningkatkan ekonomi keluarga, bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan mendukung suami,” cetusnya.

Sementara itu, Manajer Program GJI, Sofian Adly mengatakan, selain pelatihan juga dilakukan pembibitan nipah sebanyak 3000 batang untuk ditanam di wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang dikelola Kelompok Tani Nipah seluas 242 hektare.

"Tujuan utamanya adalah untuk melestarikan ekosistem dan menyediakan habitat yang baik bagi ikan, udang dan kepiting," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini