Strategi Transisi Energi Berkeadilan: Mewujudkan Masa Depan Bersih dan Inklusif

Semua hal di atas hanya bisa dilakukan jika yang menjadi pijakan adalah keadilan.

Suhardiman
Jum'at, 07 November 2025 | 16:02 WIB
Strategi Transisi Energi Berkeadilan: Mewujudkan Masa Depan Bersih dan Inklusif
Panut Hadisiswoyo, Direktur Yayasan Keadilan Hijau Indonesia/Green Justice Indonesia. [Ist]

SuaraSumut.id - Setahun lalu, Climate Watch mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa dari awal tahun 1990-an hingga 2022, krisis iklim semakin nyata terasa di Indonesia. Betapa tidak, emisi gas rumah kaca (GRK) mencapai 667 juta ton COe pada 2022, naik sekitar 24 persen dibandingkan tahun 2015. Temuannya, sebagian besar emisi karbon itu digasilkan dari sektor energi dan industri. Tidak salah jika kemudian kita mempertanyakan sebenarnya seberapa serius negeri ini menghadapi perubahan iklim.

Mengingat situasi yang semakin krusial karena 61 persen pembangkit listrik nasional ini ditopang oleh batu bara dan hanya 13,2 persen yang dihasilkan energi terbarukan dari total bauran energi (ESDM, 2024). Sudah waktunya sistem energi nasional berubah. Ketika berbicara tentang transisi energi, tentunya tidak hanya fokus pada pencapaian target emisi misalnya dengan peningkatan investasi energi terbarukan. Menurut saya, yang lebih penting dari itu adalah apakah proses transisi energi itu berkeadilan (just energy transition), inklusif dan berpijak kuat pada prinsip keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan.

Penting untuk melihat keberadaan masyarakat adat yang tinggal di dalam atau di sekitar wilayah sumber energi karena mereka lah yang pertama kali akan merasakan dampak buruknya. Jamak terjadi dampak baik justru dinikmati mereka yang nuh jauh di sana. Tapi, tidak juga bisa dilupakan bahwa ada 150.000 pekerja sektor batu bara yang berisiko kehilangan pekerjaan jika transisi energi dilakukan tanpa program pelatihan dan perlindungan sosial (ILO-Bappenas, 2023).

Sebagaimana wajarnya manusia yang hidup apalagi di negara merdeka, tidaklah muluk-muluk jika Indonesia ingin tetap memiliki langit biru, udara bersih, listrik ramah lingkungan yang menjangkau seluruh pelosok negeri, seperti itulah cita-cita transisi energi bersih berkeadilan.

Ada ribuan masyarakat adat di wilayah terpencil penghasil energi yang ironisnya masih mengandalkan genset berbahan bakar solar sebagai sumber listrik utama (BPS 2024). Kita memahami bahwa yang dimaksud berkeadilan, tidak hanya untuk penyelamatan bumi tetapi manusia dan seluruh kehidupan di dalamnya. Ekosistem harus dijaga tetap seimbang.

Semua hal di atas hanya bisa dilakukan jika yang menjadi pijakan adalah keadilan. Negara harus bisa menjamin semua warga negara mendapatkan akses terhadap energi bersih yang bisa dijangkau. Satu hal yang sangat penting adalah ketika pengambilan keputusan. Masyarakat harus dilibatkan karena selama ini banyak terjadi transisi yang dipaksakan dari atas tanpa persetujuan dari warga sebagai penerima dampak dari kerusakan lingkungan yang pertama kali, bukannya investor.

Dalam survei yang dilakukan Institute for Essensial Services Reform (IESR) tahun 2023 mengungkap ternyata hanya 18 persen komunitas lokal yang pernah dilibatkan dalam konsultasi publik terkait pembangunan energi terbarukan. Duh.

Transisi energi bersih dan berkeadilan tidak boleh hanya sekedar jargon. Biarpun mungkin transisi energi yang demikian adalah perjalanan yang panjang, tapi itu harus menjadi titik temu berbagai kepentingan demi masa depan yang lebih baik. Jika itu dilakukan, Indonesia dapat menjadi contoh untuk mewujudkan masa depan energi bersih yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil bagi semua.

Dilihat dari aspek kebijakan Indonesia menduduki peringkat ke 66 dari 120 negara yang menunjukkan kemajuan (Energy Transition Index, 2024 - World Economic Forum), hanya saja masih ketinggalan dalam hal kapasitas energi terbarukan dan tata kelolanya.

Landasan Keadilan dalam Transisi Energi

Sebagai negara kepulauan, tak bisa dibantah bahwa akses terhadap listrik belum bisa dirasakan oleh semua warga. Masyarakat adat yang berada di wilayah penghasil energi fosil bahkan cenderung mengalami ketidakadilan secara nyata. Mulai dari lingkungan yang berubah yang berdampak pada pola sosial, adat budayanya, ekonomi dan lainnya.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun lalu melaporkan sedikitnya 43 komunitas adat di Indonesia kehilangan lahan adat dan sumber air bersih sebagai dampak langsung adanya ekspansi tambang batu bara dan pembangkit listrik fosil. Di situ letak penting adanya strategi transisi energi.

Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Pertama, negara harus menjamin akses energi yang adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk daerah terpencil. Kedua, melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan energi. Ketiga, menyediakan perlindungan sosial dan pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja sektor energi fosil yang terdampak. Sampai di sini, kita sudah bisa memahami kenapa transisi energi masih jauh dari kata bersih dan berkeadilan. Apalagi tentang kesejahteraan.

Energi Bersih Sebagai Pilar Transformasi

Peralihan menuju energi bersih sebenarnya mencerminkan perubahan paradigma: dari ekonomi berbasis ekstraksi menuju ekonomi hijau yang regeneratif. Namun, hal itu hanya bisa dicapai melalui diversifikasi sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, panas bumi, biomassa, dan angin, yang disesuaikan dengan potensi lokal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini