Suhardiman
Kamis, 01 Juli 2021 | 10:47 WIB
Monumen Guru Patimpus di Jalan Gatot Subroto Medan. [Suara.com/M Aribowo]

"Belanda datang melalui Siak, daerah Riau," ungkapnya.

Belanda masuk dari Siak, karena Aceh pada waktu itu belum bisa ditaklukkan. Di masa Belanda perekonomian berkembang pesat melalui perkebunan, terutama kebun tembakau yang mencapai kegemilangannya. Disini, tembakau tumbuh dengan subur.

"Makanya Kota Medan logonya tembakau, karena memang dari dulu simbol kota, termasuk juga PSMS Medan. Sekarang sudah hilang, jadi istilah deli penghasil tembakau tinggal nama, tinggal logo," tutur Rizky.

Kota Medan Majemuk, Miniatur Indonesia

Memasuki zaman kemerdekaan Republik Indonesia, mulai tahun 1945 hingga sekarang, perekonomian Kota Medan semakin maju lebih pesat dari sebelumnya.

"Tetap perdagangan diutamakan, sektor industri, UKM. Pertanian hilang," ucapnya.

Di usia yang ke-431 tahun, kota Medan menjadi kota modern, terbesar di Indonesia. Kota yang dulunya rawa-rawa, kini berubah menjadi kota metropolitan, dengan gedung-gedung tinggi di pusat kota. Kota Medan menjadi rumah bagi 2,5 juta jiwa dari berbagai suku yang majemuk.

Berbagai etnis mulai Aceh, Karo, Jawa, Batak, Mandailing, Minangkabau, Melayu, Tionghoa, Tamil dan lainnya, hidup berdampingan dengan rukun di kota yang memiliki luas total 265,10 km2.

"Itu harus kita akui Sumatera Utara, Kota Medan itu miniaturnya Indonesia. Jangan dirusak kemajemukan karena itu salah satu kebanggaan kita," pungkasnya.

Baca Juga: Gara-gara Terpapar Covid-19, Pria Ini Hanya Bisa Melihat Pemakaman Ibunya dari Ponsel

Kontributor : M. Aribowo

Load More