Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Rabu, 04 September 2024 | 13:13 WIB
Komunitas masyarakat adat dari kawasan Danau Toba di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mencurahkan isi hati kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Ai Maryati Solihah di Jakarta, Senin (2/9/2024) sore. [Ist]

SuaraSumut.id - Beberapa ibu-ibu tidak kuat menahan kesedihannya. Mereka menangis ketika mencurahkan isi hati (curhat) kepada Ketua KPAI Ai Maryati Solihah, di Jakarta, Senin 2 September 2024 sore. Seorang ibu berkata "Saya juga ikut diseret, diborgol, dan dipukul. Sadisnya, anak saya yang masih berusia 10 tahun, juga ikut mengalami kekerasan, bu".

Kemudian orang tidak dikenal memborgol warga dan memukuli, menendang dagu dan bagian kepala. Beberapa masyarakat adat Sihaporas mengalami luka robek di kepala, dan lebam di wajah.

Dua ekor anjing peliharaan warga pun mati, diduga diracun pihak tertentu. Menurutnya, tindakan kekerasan seperti ini berakibat ia tidak berani tinggal di rumahnya sendiri. Di antara ibu-ibu tersebut adalah Mersi Silalahi. Ia menceritakan kasus yang dialami suaminya, Thomson Ambarita.

Peristiwanya terjadi pada Senin (22/7/2024) dini hari di perladangan di kawasan Danau Toba, desa/nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Saat tengah terlelap tidur, masyarakat adat Sihaporas mengaku dikagetkan kedatangan puluhan orang yang tidak mereka kenal. Lima orang warga kemudian dibawa paksa dari kampung mereka.

Baru beberapa jam kemudian mereka mengetahui bahwa kelimanya ditangkap oleh Polres Simalungun. Kelimanya adalah Jonny Ambarita, Thomson Ambarita, Giovani Ambarita, Prando Tamba, dan Dosmar Ambarita.

"Mengapa kami diperlakukan seperti teroris. Polisi menangkap suami saya pada jam 3 pagi, tanpa surat panggilan. Dipukuli, disetrum lsitrik. Dan ada anak-anak di situ, menyaksikan bapaknya dipukuli, tentu terluka kan hatinya," kata Mersi dalam keterangan yang diterima.

Mersi menceritakan bahwa suaminya sudah dua kali mengalami penangkapan. Padahal, ia memperjuangkan tanah adat leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita yang sudah 11 generasi. Sebelumnya, pada September 2019, suaminya bersama Jonny Ambarita juga mendekam di penjara karena kriminalisasi oleh PT TPL.

Persoalan mereka sebenarnya mengenai tanah, namun pekerja TPL selalu memprovokasi sehingga pecah konflik horizontal antar-manusia. Ketika pihak perusahaan mengadu ke polisi, anggota masyarakat ditangkap. Sedangkan dari pihak perusahaan tidak tersentuh.

Kejadian 2022 serta 2024 diawali tindakan penghasutan terus-menerus oleh pekerja PT TPL Sardi Samuel Sinaga dan kawan-kawan.

Seorang ibu lainnya, Marta Manurung, mewakili Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dari Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. Marta menyampaikan kisah penculikan keluarganya, Sorbatua Siallagan (65) pada 22 Maret 2024.

Sorbatua Siallagan, selaku tetua adat Komunitas keturunan Ompu Umbak Siallagan diculik oleh orang tidak dikenal saat berbelanja pupuk pertanian. Setelah beberapa jam keluarga menelusuri keberadaannya, diketahui Sorbatua berada di Polda Sumatera Utara.

Pada 14 Agustus 2024, Sorbatua divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun. Ia didakwa menguasai tanah PT TPL, dan membakar hutan.

Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PHW AMAN) Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran yang ikut mendampingi warga membenarkan masyarakat menangis saat mengadu.

"Memang betul, korban menyampaikan dengan menangis, saat mengadu kepada Ketua KPAI,” kata Jhontoni Tarihoran, Rabu (3/9/2024).

Jhontoni mengatakan, para ibu menangis karena merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Sebab, begitu banyak rintangan yang mereka alami saat mempertahkanak hak atas wilayah adat.

Ada juga kekerasan yang dialami orangtua dan anak-anaknya. Ini tentu mengakibatkan ketakutan atau trauma bagi anak-anak.

"Kita yang mendengar juga sangat sedih. Bukan saja karena mereka menangis, tapi mendengar cerita mereka tentang situasi dan kekerasan yang terjadi rasanya sangat menyedihkan dan membuat kita marah. Walaupun saya tidak meneteskan air mata, mendengar cerita itu sangat sedih," ujar Jhontoni.

Ia berharap, aduan dan keluhan masyarakat kepada KPAI, kiranya menjadi bahan pertimbangan bagi KPAI untuk segera mengambil peran dalam situasi konflik berlarut-larut di masyarakat adat Sihaporas.

Sebab, perjuangan mereka bukan hanya tentang tanah adat, tetapi saat ini juga menolak kekerasan dan penghilangan hak anak.

"Memang berjuang untuk tanah adat, untuk wilayah adat yang tetap lestari yang akan diwariskan sebagai masa depan termasuk masa depan anak-anak," cetusnya.

Ada juga problem serius yang dihadapi anak-anak. Ada anak menjadi korban kekerasan, yang melihat situasi saat ayahnya ditangkap polisi.

"Ada juga anak-anak yang kehilangan ayah karena bapaknya terpenjara. Atau ada anak-anak yang menjadi berjarak dengan bapaknya. Kita bisa bayangkan, anak sekolah, yang semula diantar-jemput bapak ke sekolah, tapi karena ayahnya ditangkap polisi, maka kasihan anak-anaknya tidak mendapat pendampingan saat menjalani pendidikan," cetusnya.

Dirinya meminta agar masyarakat adat yang memperjuangkan tanah leluhur segera dibebaskan. Dan tanah adat sesegera mungkin diakui pemerintah dan diserahkan kepada komunitas masyarakat adat.

Komunitas masyarakat adat dari kawasan Danau Toba di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, foto bersama Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Ai Maryati Solihah di Jakarta, Senin (2/9/2024) sore. [Ist]


Tanah Adat Diakui Penjajah Belanda

Sejumlah ibu-ibu dari kawasan Danau Toba, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, keluarga korban kriminalisasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) bertolak ke Jakarta.

Mereka mengadu kepada sejumlah kementerian/lembaga negara dan keagamaan, untuk mencari keadilan atas tanah adat warisan leluhur selama 11 generasi, selama beratus tahun.

Selain mendatangi KPAI, mereka juga mengadu ke Komnas HAM, kemudian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Dan mereka akan tetap berada di Jakarta untuk menuntut keadilan.

Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) mengatakan, tanah nenek moyaknya sudah ditempati sejak kurang lebih 220 tahun silam.

Menurut Mangitua, mereka mengelola tanah adat leluhur. Tanah Sihaporas bahkan, telah diakui penjajah Belanda. Terbukti dengan terbitnya peta Enclave 1916 (29 tahun sebelum Indonesia merdeka).

Mereka bukan penggarap tanah. Terdapat 6 orang tetua desa Sihaporas juga menjadi pejuang Kemerdekaan RI. Ayahnya, Yahya Ambarita mendapat piagam legiun Veteran RI dari Menteri Pertahanan LB Moerdani tahun 1989.

Masih menurut Mangitua, pengolahan tanah Sihaporas memang dilakukan secara adat. Setiap kegiatan, mulai membuka lahan sampai panen, dilakukan dan diwarnai tradisi adat yang kental. Misalnya, membuka lahan disebut ‘manoto’, menggelar doa untuk meminta berkat dan permisi kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Mahakuasa), juga semacam pemberitahuan kepada alam semesta, bahwa akan dimulai menebang pohon.

Ketika hendak bercocok tanam padi darat (huma), dilakukan tradisi 'manjuluk'. Saat padi bunting, dilaksanakan tradisi ‘manganjab’, yaitu ritual bersama-sama di perhumaan. Dilaksanakan doa mohon kesuburan dan keberhasilan panen.

Acara menganjap juga diwarnai tradisi 'marsibak', mengolah bahan makanan berbahan jagung, dicampur dedaunan untuk permentasi. Rangkaian selanjutnya, ‘robu juma’ (pantang berladang) selama tiga hari, ‘robu harangan’ (pantang ke hutan) tiga hari, dan pada hari ke-7 dilakukan manangsang robu (buka pantang) yang diisi kegiatan doa, lanjut berburu ke hutan.

Saat panen, dikenal dilakukan ‘sipahalima’. Pemotongan bulir padi, didahului mengumpulkan tujuh gulungan buliran padi, lalu disimpan di bubungan gubuk. Setelah selesai panen, diadakan pesta dan doa bersama.

Selain itu, warga juga hidup dengan tradisi ritual doa adat. Terdapat tujuh macam doa, mulai skala besar yang diikuti musik tradisional gondang, sembelih persembahan atau sesaji, hingga penggunaan air suci yag bersumber dari balik batu.

Penggunaan ‘rudang’ atau bahan-bahan bebugaan dari perldanagn dan hutan. Tradisi terbesar adalah ‘Patarias Debata Mulajadi Nabolon’, yakni pesta adat denagn durasi non-stop tiga hari dua malam, menggunakan alat musik gondang Toba.

Mendengar keterangan ibu-ibu, para keluarga korban kriminalisasi PT TPL, Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menyayangkan kejadian kekerasan oleh jajaran Polres Simalungun terhadap anak-anak.
"Peristiwa yang mengakibatkan terlibatnya anak jadi korban kekerasan sangat kita sesalkan. KPAI akan segera menindaklanjuti. Sebagai langkah awal, akan mendata anak-anak di kampung terdampak. Lalu membuat langkah-langkah untuk pemulihan segala hak anak termasuk, pemulihan mental akibat peristiwa (kekerasan dan traumatis) yang dialami," katanya.

Load More