SuaraSumut.id - Hari Bumi bukan sekadar seremonial tahunan, bukan pula momen romantis untuk berswafoto dengan latar danau atau menanam satu pohon di halaman sekolah.
Di Danau Toba, peringatan Hari Bumi seharusnya menjadi refleksi yang getir dan tajam atas arah pembangunan dan krisis ekologis yang terus memburuk. Terutama ketika kita menengok apa yang sebenarnya terjadi di seputar danau yang pernah disebut sebagai “kaldera surga” ini.
Luka di Hulu, Luka di Danau
Salah satu akar persoalan terbesar di kawasan Danau Toba adalah deforestasi masif yang terjadi selama lebih dari tiga dekade. Ironisnya, kerusakan ini tidak hanya dilakukan oleh petani kecil yang membuka lahan secara ilegal, tetapi juga oleh korporasi besar yang beroperasi dengan izin resmi dari negara.
PT Toba Pulp Lestari (TPL) misalnya, selama bertahun-tahun mengelola konsesi lebih dari 160.000 hektare hutan di kawasan hulu tangkapan air Danau Toba, terutama di sektor barat dan utara.
Data Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara tahun 2001 hingga 2022, Provinsi Sumatera Utara kehilangan sekitar 681.000 hektare tutupan hutan dan wilayah Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, hingga Simalungun menjadi zona kehilangan yang paling signifikan. Daerah-daerah ini merupakan bagian dari kawasan tangkapan air yang sangat penting bagi kestabilan Danau Toba.
Sebuah studi gabungan oleh CIFOR dan IPB (2020) menunjukkan bahwa deforestasi memperburuk infiltrasi air hujan ke dalam tanah, sehingga memperbesar limpasan permukaan (surface runoff) yang mempercepat erosi dan membawa sedimen ke danau. Beban sedimen ini kemudian mengganggu siklus nutrien dan mempercepat pendangkalan, serta memicu degradasi kualitas air.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah absennya evaluasi terhadap kebijakan konsesi jangka panjang. Di satu sisi, masyarakat adat yang mempertahankan hutan ulayatnya dikriminalisasi, sementara perusahaan dengan izin resmi justru dibiarkan beroperasi di zona yang rawan ekologis. Negara seolah melanggengkan kerusakan lewat diam dan ketidakmampuan membaca krisis.
Air yang Kian Tercemar
Masalah di Danau Toba tak hanya soal deforestasi. Tubuh air danau kini menghadapi krisis kualitas yang serius. Laporan “Water Quality Risk Assessment for Lake Toba” (2021), hasil kolaborasi World Bank dan Deltares, menyatakan bahwa proses eutrofikasi telah terjadi di banyak bagian danau, khususnya di teluk-teluk dengan sirkulasi air rendah seperti Balige, Ajibata, dan Porsea.
Kadar total fosfor (TP) di beberapa lokasi melebihi ambang batas 0,05 mg/L, yang ditetapkan untuk danau tropis. Ini menyebabkan pertumbuhan alga berlebih (algal bloom), mengurangi kadar oksigen terlarut, dan berisiko menimbulkan kematian ikan secara massal. Hal ini bukan prediksi semata; kejadian kematian ikan massal sudah tercatat di Haranggaol dan Muara pada tahun 2016, 2018, dan 2020.
Deltares juga memperkirakan beban fosfor tahunan yang masuk ke Danau Toba mencapai lebih dari 13.000 ton per tahun, yang berasal dari limbah domestik (40%), pertanian dan peternakan (35%), serta kegiatan budidaya ikan dengan Keramba Jaring Apung (25%).
Sayangnya, hingga kini belum ada sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpadu yang mampu menangani beban limbah rumah tangga maupun industri skala besar. Di saat yang sama, operasional keramba yang terus bertambah—yang seharusnya dibatasi maksimal 10.000 unit menurut Perpres No. 81 Tahun 2014—telah melampaui kapasitas daya dukung ekologis danau.
Warisan Leluhur yang Terpinggirkan
Krisis ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi juga tentang hilangnya filosofi kearifan lokal Batak dalam menjaga hubungan harmonis dengan alam. Dalam sistem nilai Batak, tanah bukan hanya tempat berpijak, tapi juga “tanah leluhur”—yang tidak bisa diperlakukan semena-mena. Hutan dalam budaya Batak disebut “balian”, yaitu wilayah sakral tempat roh-roh nenek moyang bersemayam.
Berita Terkait
-
Jawa Timur Bentuk Tahura Lawu, Bisakah Atasi Krisis Lingkungan?
-
Hari Ini KLH Panggil PT TPL hingga PTPN III Terkait Banjir di DAS Batang Toru
-
Prilly Latuconsina Angkat Suara Soal Banjir Sumatra: Bukan Sekadar Musibah Alam
-
Konferda PDIP Jabar, Hasto Tekankan Politik Lingkungan sebagai Jalan Perjuangan
-
Soal Krisis Lingkungan, Menag Nasaruddin Dorong Ekoteologi Lintas Agama
Terpopuler
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 8 Bedak Translucent untuk Usia 50-an, Wajah Jadi Flawless dan Natural
- Sepatu On Cloud Ori Berapa Harganya? Cek 5 Rekomendasi Paling Empuk buat Harian
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 5 Sepatu Lari Rp300 Ribuan di Sports Station, Promo Akhir Tahun
Pilihan
-
Hasil SEA Games 2025: Mutiara Ayu Pahlawan, Indonesia Siap Hajar Thailand di Final
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
Terkini
-
Sejumlah Wilayah di Aceh Belum Teraliri Listrik Sejak Bencana November 2025
-
2 Relawan Tewas Kecelakaan Saat Antar Bantuan Air Bersih untuk Korban Bencana Aceh Timur
-
3 Sepatu Converse Rp 300 Ribuan di Sports Station, Diskon hingga 50 Persen
-
Raffi Ahmad Beri Bantuan Rp 5 Miliar untuk Penanganan Bencana di Sumut
-
11.010 Hektare Sawah di Aceh Timur Terendam Banjir, Kerugian Rp 88 Miliar