Dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, terdapat etika mendalam dalam menjaga keseimbangan antara manusia, leluhur, dan alam. Setiap pengambilan hasil hutan atau pembukaan lahan dulunya disertai upacara ritual dan konsultasi adat, bukan keputusan sepihak berbasis izin investor. Kini, budaya ini semakin tergeser oleh logika pembangunan top-down yang merampas ruang hidup masyarakat.
Prinsip Batak tradisional yang berbunyi: “jangan makan hari ini jika itu berarti cucumu kelaparan esok,” tampaknya telah dikalahkan oleh model pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan keberlanjutan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pertama, moratorium izin baru di kawasan hutan Toba adalah langkah darurat yang tidak bisa ditunda. Pemerintah daerah dan pusat harus menghentikan semua ekspansi industri kehutanan dan mengevaluasi ulang izin-izin lama yang terbukti merusak ekosistem.
Kedua, industri keramba jaring apung harus direduksi secara bertahap dan dikonversi menjadi sistem budidaya tertutup yang lebih ramah lingkungan. Evaluasi AMDAL secara ketat dan transparan wajib dilakukan, termasuk pelibatan masyarakat dalam pengawasan.
Ketiga, sistem pengolahan air limbah harus dibangun, tidak hanya di kota besar seperti Parapat dan Balige, tapi juga di desa-desa pesisir dan teluk tertutup. Tanpa IPAL, semua edukasi kebersihan hanya akan menjadi retorika kosong.
Keempat, nilai-nilai kearifan lokal harus diarusutamakan dalam kebijakan publik. Pendidikan adat lingkungan, kerja sama antara komunitas lokal dan institusi formal, serta pengakuan hutan adat sebagai bagian dari solusi konservasi harus menjadi agenda bersama.
Hari Bumi tahun ini semestinya jadi titik balik. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam tata kelola lingkungan, maka Danau Toba akan menjadi tragedi ekologi paling memalukan di kawasan Asia Tenggara.
Danau Toba bukan sekadar danau, tapi warisan geologi, budaya, dan spiritual umat manusia. Jika kita membiarkannya rusak, maka yang hilang bukan hanya air dan pepohonan, tapi juga sejarah, identitas, dan masa depan kita bersama.
Oleh: Gito Pardede, Ketua Youth Toba Caldera UNESCO Global Geopark
Berita Terkait
-
Jawa Timur Bentuk Tahura Lawu, Bisakah Atasi Krisis Lingkungan?
-
Hari Ini KLH Panggil PT TPL hingga PTPN III Terkait Banjir di DAS Batang Toru
-
Prilly Latuconsina Angkat Suara Soal Banjir Sumatra: Bukan Sekadar Musibah Alam
-
Konferda PDIP Jabar, Hasto Tekankan Politik Lingkungan sebagai Jalan Perjuangan
-
Soal Krisis Lingkungan, Menag Nasaruddin Dorong Ekoteologi Lintas Agama
Terpopuler
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 8 Bedak Translucent untuk Usia 50-an, Wajah Jadi Flawless dan Natural
- Sepatu On Cloud Ori Berapa Harganya? Cek 5 Rekomendasi Paling Empuk buat Harian
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 5 Sepatu Lari Rp300 Ribuan di Sports Station, Promo Akhir Tahun
Pilihan
-
Hasil SEA Games 2025: Mutiara Ayu Pahlawan, Indonesia Siap Hajar Thailand di Final
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
Terkini
-
Sejumlah Wilayah di Aceh Belum Teraliri Listrik Sejak Bencana November 2025
-
2 Relawan Tewas Kecelakaan Saat Antar Bantuan Air Bersih untuk Korban Bencana Aceh Timur
-
3 Sepatu Converse Rp 300 Ribuan di Sports Station, Diskon hingga 50 Persen
-
Raffi Ahmad Beri Bantuan Rp 5 Miliar untuk Penanganan Bencana di Sumut
-
11.010 Hektare Sawah di Aceh Timur Terendam Banjir, Kerugian Rp 88 Miliar