Suhardiman
Senin, 21 April 2025 | 23:12 WIB
Danau Toba, Sumatera Utara. [Suhardiman/Suara.com]

SuaraSumut.id - Hari Bumi bukan sekadar seremonial tahunan, bukan pula momen romantis untuk berswafoto dengan latar danau atau menanam satu pohon di halaman sekolah.

Di Danau Toba, peringatan Hari Bumi seharusnya menjadi refleksi yang getir dan tajam atas arah pembangunan dan krisis ekologis yang terus memburuk. Terutama ketika kita menengok apa yang sebenarnya terjadi di seputar danau yang pernah disebut sebagai “kaldera surga” ini.

Luka di Hulu, Luka di Danau

Salah satu akar persoalan terbesar di kawasan Danau Toba adalah deforestasi masif yang terjadi selama lebih dari tiga dekade. Ironisnya, kerusakan ini tidak hanya dilakukan oleh petani kecil yang membuka lahan secara ilegal, tetapi juga oleh korporasi besar yang beroperasi dengan izin resmi dari negara.

PT Toba Pulp Lestari (TPL) misalnya, selama bertahun-tahun mengelola konsesi lebih dari 160.000 hektare hutan di kawasan hulu tangkapan air Danau Toba, terutama di sektor barat dan utara.

Data Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara tahun 2001 hingga 2022, Provinsi Sumatera Utara kehilangan sekitar 681.000 hektare tutupan hutan dan wilayah Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, hingga Simalungun menjadi zona kehilangan yang paling signifikan. Daerah-daerah ini merupakan bagian dari kawasan tangkapan air yang sangat penting bagi kestabilan Danau Toba.

Sebuah studi gabungan oleh CIFOR dan IPB (2020) menunjukkan bahwa deforestasi memperburuk infiltrasi air hujan ke dalam tanah, sehingga memperbesar limpasan permukaan (surface runoff) yang mempercepat erosi dan membawa sedimen ke danau. Beban sedimen ini kemudian mengganggu siklus nutrien dan mempercepat pendangkalan, serta memicu degradasi kualitas air.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah absennya evaluasi terhadap kebijakan konsesi jangka panjang. Di satu sisi, masyarakat adat yang mempertahankan hutan ulayatnya dikriminalisasi, sementara perusahaan dengan izin resmi justru dibiarkan beroperasi di zona yang rawan ekologis. Negara seolah melanggengkan kerusakan lewat diam dan ketidakmampuan membaca krisis.

Air yang Kian Tercemar

Masalah di Danau Toba tak hanya soal deforestasi. Tubuh air danau kini menghadapi krisis kualitas yang serius. Laporan “Water Quality Risk Assessment for Lake Toba” (2021), hasil kolaborasi World Bank dan Deltares, menyatakan bahwa proses eutrofikasi telah terjadi di banyak bagian danau, khususnya di teluk-teluk dengan sirkulasi air rendah seperti Balige, Ajibata, dan Porsea.

Kadar total fosfor (TP) di beberapa lokasi melebihi ambang batas 0,05 mg/L, yang ditetapkan untuk danau tropis. Ini menyebabkan pertumbuhan alga berlebih (algal bloom), mengurangi kadar oksigen terlarut, dan berisiko menimbulkan kematian ikan secara massal. Hal ini bukan prediksi semata; kejadian kematian ikan massal sudah tercatat di Haranggaol dan Muara pada tahun 2016, 2018, dan 2020.

Deltares juga memperkirakan beban fosfor tahunan yang masuk ke Danau Toba mencapai lebih dari 13.000 ton per tahun, yang berasal dari limbah domestik (40%), pertanian dan peternakan (35%), serta kegiatan budidaya ikan dengan Keramba Jaring Apung (25%).

Sayangnya, hingga kini belum ada sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpadu yang mampu menangani beban limbah rumah tangga maupun industri skala besar. Di saat yang sama, operasional keramba yang terus bertambah—yang seharusnya dibatasi maksimal 10.000 unit menurut Perpres No. 81 Tahun 2014—telah melampaui kapasitas daya dukung ekologis danau.

Warisan Leluhur yang Terpinggirkan

Gito Pardede, Ketua Youth Toba Caldera UNESCO Global Geopark. [dok Istimewa]

Krisis ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi juga tentang hilangnya filosofi kearifan lokal Batak dalam menjaga hubungan harmonis dengan alam. Dalam sistem nilai Batak, tanah bukan hanya tempat berpijak, tapi juga “tanah leluhur”—yang tidak bisa diperlakukan semena-mena. Hutan dalam budaya Batak disebut “balian”, yaitu wilayah sakral tempat roh-roh nenek moyang bersemayam.

Load More