SuaraSumut.id - Ikon legendaris kota Medan, Istana Maimun, di Jalan Brigjen Katamso Medan, menyimpan berbagai kisah bersejarah. Mulai dari zaman masuknya peradaban Islam, penjajahan Belanda, hingga kemerdekaan.
Salah satu kisah bersejarahnya adalah Meriam Puntung, yang menjadi saksi bisu lahirnya cikal bakal kerajaan Islam, Kesultanan Deli di Kota Medan.
Meriam Puntung yang berada di areal Istana Maimun, hingga kini masih dikunjungi wisatawan.
Bahkan di bulan Ramadhan, wisata Meriam Puntung tetap buka mulai pukul 09.00 WIB hingga 18.00 WIB. Ini menjadi pilihan masyarakat untuk menghabiskan waktu menunggu waktu berbuka puasa alias ngabuburit.
Baca Juga:Gantikan Livina, Sandiaga Uno Pinang Mobil Listrik di IIMS Hybrid 2021
Syarida, salah seorang pemandu wisata mengatakan, Meriam Puntung merupakan peninggalan peperangan antara Kerajaan Haru dengan Kerajaan Aceh, yang pecah pada tahun 1612 M di Delitua (Sumatera Utara).
"Dulu, kerajaan yang lebih awal, namanya Kerajaan Haru letaknya di Delitua, Haru mempunyai dua pria yang tengah wanita, namanya Putri Hijau," kata Syarida, kepada SuaraSumut.id, Senin (19/4/2021).
Ia mengatakan, Sultan Aceh hendak mempersunting Putri Hijau. Namun, sang putri menolak permintaan tersebut.
"Karena berbagai hal menolak, diserang Aceh kerajaan putri," ujarnya.
Peperangan antara kedua kerajaan ini pun meletus di Delitua. Dalam peperangan itu kerajaan putri mengalami kekalahan.
Baca Juga:Persija Rebut Tiket Final Piala Menpora 2021, Andritany Jadi Pahlawan
"Bersumpahlah adik putri yang bungsu, seorang pangeran namanya Sri Paduka Mambang Khayali atau Mambang Sakti, bersumpahlah dia dengan kesaktiannya, menyatulah sukma atau kekuatannya ke meriam ini, ditembakanlah meriam ini ke pasukan Aceh yang menyerang," cerita Syarida.
"Tembak terus menerus akhirnya panas, merah, patah, puntung, patahannya terpental ke dataran tinggi Suka Nalu, Kabupaten, Karo," sambungnya.
Ia mengatakan, patahan meriam yang berada di Kabupaten Karo, hingga kini juga masih bisa ditemukan.
"Di sana dibuat juga rumah seperti ini, rumah Karo. Bedanya kalau di sini kelambunya kuning atau hijau ciri khas Melayu, kalau di sana warna putih," jelasnya.
Singkat cerita, Kerajaan Haru kalah dalam peperangan melawan Kerajaan Aceh.
"Di bawah si Putri, namun ia meminta tiga syarat, yaitu bertih, telur, dan kerenda kaca, dapatlah terpenuhi syarat dibawalah Putri Hijau ini pergi," ujarnya.
Sesampainya di perairan Aceh Utara, kata Syarida, ditebarkannya syarat bertih dan telur tadi ke laut.
"Datanglah si Naga, abangnya yang sulung, disitulah diambil si Putri Hijau, maka hilang atau raiblah Putri Hijau di laut Aceh sana," ungkapnya.
Kerajaan Haru Takluk, Lahir Kesultanan Deli
Setelah Kerajaan Haru takluk, maka Panglima Perang Sultan Aceh bernama Gocah Pahlawan, mendirikan kerajaan yang menjadi cikal bakal, Kesultanan Deli.
Akhirnya meriam bekas peperangan ini dibawa, menjadi kenang-kenangan perang sekaligus penghormatan.
"Mengapa dia (Meriam Puntung) disini setelah berdiri Istana Kesultanan Deli, dari tempat perang di Delitua dipindahkan kemari. Yang menaklukkan ini Panglima perang Sultan Aceh namanya Gocah Pahlawan, beliau inilah cikal bakal sultan Deli yang pertama," katanya.
Syarida menerangkan meriam ini sudah berusia 4 abad lebih.
"Jadi dibawalah ini meriam sebagai penghormatan dan kenang-kenangan perang saja, berusia 4 abad lebih," katanya.
Setiap Tahun Baru Islam Dimandikan
Syarida mengungkapkan, tidak ada perawatan khusus terhadap meriam ini, hanya saja tiap 1 Muharram tahun baru Islam, meriam dimandikan dan diberi minyak.
"Ini dulu gak ada rumahnya di depan sana terletak hingga akhirnya dirumahkan," katanya.
Setelah dirumahkan, kata Syarida, meriam ini pernah berpindah sendiri pada tahun 1995 silam.
"Bergeser sejauh 2 meter, semua pintu terkunci, itu kan berat gotongnya ramai-ramai untuk memasukkannya lagi ke dalam rumahnya," jelasnya.
Syarida menuturkan, selain untuk mengetahui kisah peperangan yang melahirkan Kesultanan Deli, masyarakat datang juga untuk berdoa.
"Kalau di sini gak ada pantangan, masyarakat boleh berdoa, ada juga yang mendengar di lubang meriam, kalau dihayati ada arus airnya," tukasnya.
Sementara, Indah (28) salah seorang warga Medan datang bersama temannya ke lokasi Meriam Puntung untuk mengetahui jejak sejarah kota Medan.
"Sembari menunggu buka puasa, jalan-jalan ke Istana Maimun, melihat Meriam Puntung dan mendengarkan kisahnya," tukasnya.
Kontributor : M. Aribowo