SuaraSumut.id - Desakan menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) pasca bentrok karyawan perusahaan dengan masyarakat adat Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, semakin menguat.
Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang mengaku, desakan penutupan PT TPL bukan sekedar reaksi dari warga di areal wilayah adat, namun bentuk perlawanan kepada perusahaan tersebut.
"Perusahaan itu hanya membawa masalah, mulai dari pencemaran saat masih bernama PT Inti Indorayon Utama hingga masalah konflik agraria dan dugaan manipulasi pajak setelah ganti nama menjadi PT TPL," kata Sahat dalam keterangan yang diterima, Rabu (26/5/2021).
Sejak kehadiran PT TPL, kata Sahat, disebut kemiskinan di tanah Batak bukannya berkurang. Penyebabnya, karena lahan konsesi PT TPL yang sebagian besar merupakan wilayah masyarakat adat Batak yang ditempati secara turun temurun, tak lagi bisa dikelola untuk bertani dan berkebun.
Baca Juga:Belum Puas dengan Skuad, Shin Tae-yong Panggil Muhammad Riyandi
Masyarakat adat Batak, kata Sahat, telah bertani dan mengelola hutan di wilayah konsensi PT TPL lebih dari 15 generasi melalui rangkaian hak adat, tradisi serta aturan komunitas dan perorangan yang sangat ketat.
"Bagi masyarakat Batak seperti masyarakat adat lainnya, hutan adalah sumber air bersih dan tempat berlindung, obat-obatan, sumber pangan dan mata pencaharian. Banyak masyarakat adat Batak di lahan konsensi PT TPL membudidayakan dan menanam pohon kemenyan (styrax benzoin) sebagai sumber penghasilan uang. Dari ladang kemenyan atau haminjon itu orangtua Batak membayar biaya sekolah, BPJS kesehatan, bahkan menyekolahkan anak hingga bangku kuliah." katanya.
Sahat menyatakan, Perhimpunan Pergerakan 98 bersama-sama masyarakat adat akan berjuang untuk mendapatkan kembali hak tanah yang dimasukkan pemerintah ke dalam areal konsensi PT TPL di Kabupaten Asahan, Padanglawas Utara, Kota Sidempuan, Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, Kabupaten Toba, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Samosir dan Humbang Hasundutan.
"Kami bersama masyarakat adat bergandengan tangan mengambil kembali dan mempertahankan lahan atau tanah adat itu." ujarnya.
Meski lahan adat telah diakui oleh masyarakat Batak selama bertahun-tahun, namun hak tersebut belum diakui Pemerintah Indonesia secara terbuka.
Baca Juga:Kalau Israel Serang Yerussalem, Pemimpin Hizbullah: Berarti Perang Lagi..
"Jokowi hanya mengeluarkan 5.172 hektare lahan adat Pandumaan - Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan dari wilayah konsesi PT TPL. Presiden mengakui lahan tersebut sebagai tanah adat. Padahal ada 100 ribuan hektare lagi lahan adat yang tidak dikeluarkan Jokowi dari lahan konsesi PT TPL. Ini pembohongan besar kepada masyarakat adat," jelasnya.
Perampasan tanah adat dan perusakan ekosistim hutan di kawasan Tapanuli sekitarnya, kata Sahat, dimulai awal tahun 1980-an masa Orde Baru berkuasa. Hal ini ditandai penyerahan lahan konsesi oleh Departemen Kehutanan untuk PT Inti Indorayon Utama, yang kemudian berubah nama menjadi PT TPL.
"Saat Indorayon membuka lahan konsesi pemberian rezim Orde Baru, mereka menghancurkan hutan, ladang dan hutan kemenyan yang luas. Saat hutan alam ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri (HTI), tanaman eukaliptus yang rakus air mengeringkan sungai di sekitarnya dan menyebabkan berbagai dampak sosial dan lingkungan." terang Sahat.
Sahat ragu Jokowi berani menutup PT TPL meski desakan itu kian menguat. Dia juga mengkritik bahwa keberpihakan Jokowi kepada masyarakat adat Batak.
"Mantan Presiden almarhum Abdurrahman Wahid atau Gusdur mencabut izin usaha Indorayon pada tahun 1999. Namun, di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri perusahaan itu kembali diizinkan beroperasi dengan nama baru PT TPL," tukasnya.