Meningkatnya militansi anti-komunis juga memicu perkelahian jalanan antara kelompok pemuda yang bersaing, mengakibatkan pembunuhan dua mahasiswa anti-komunis oleh anggota organisasi Pemuda Rakyat PKI pada 25 Oktober di Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.
Titik balik datang keesokan harinya. Pada 29 Oktober, Komandan Bukit Barisan Brigadir Jenderal Darjatmo digantikan oleh Brigadir Jenderal Sobiran, yang oleh para pejabat AS digambarkan sebagai "anti-Komunis yang kejam."
Yakin bahwa mereka telah mengkonsolidasikan kendali atas barisannya sendiri, Angkatan Darat tidak membuang waktu untuk memulai demonstrasi massa.
Pada 2 November, diperkirakan 100.000 orang berunjuk rasa di pusat kota Medan menuntut PKI dibubarkan. Gubernur Ulung Sitepu dicopot dari jabatannya, hubungan diplomatik dengan RRT diputus, dan Baperki dibubarkan dan harta bendanya disita.
Baca Juga:Khawatir Rusak Ekosistem, KKP Panggil Pertamina Terkait Tumpahan Minyak di Aceh
Demonstrasi ini merupakan isyarat untuk penyerangan terhadap PKI dan organisasi afiliasinya. Pembantaian massal pun tak terelakkan. Pada tanggal 8 November 1965, Kedutaan Besar AS melaporkan "upaya sistematis untuk menghancurkan PKI di Sumatera bagian utara dan pembunuhan besar-besaran" dan bahwa ratusan orang saat itu dibunuh setiap hari di Sumatera Utara".
Sangat Mencekam
Sejarawan Muda Kota Medan M Aziz Rizky Lubis mengungkapkan, pada masa itu situasi Kota Medan sangat mencekam.
"Selain melakukan demo mereka (massa anti PKI) juga melakukan penyisiran yang dianggap menjadi basis PKI," katanya, Kamis (30/9/2021).
Aziz mengatakan, ada beberapa titik penumpasan PKI di Medan, dan Deli Serdang. Semua hal yang berbau komunis disebut jadi sasaran amuk, termasuk warga Tionghoa di Medan.
Baca Juga:Rajin Olahraga dan Jaga Pola Makan, Ini 9 Potret Body Goals Salmafina Sunan
"Situasi sangat mencekam, di Sungai Ular (Deli Serdang), ketika penumpasan terjadi air sungainya berubah menjadi warna merah karena terlalu banyaknya darah. Di Sungai Bedera juga begitu, ada beberapa versi cerita mengenai itu," katanya.
Selain itu, orang-orang yang dituduh terlibat PKI juga ditangkap dan dimasukkan ke dalam rumah tahanan di Jalan Gandhi Medan.
"Rumah Tahanan di Jalan Gandhi dipenuhi tapol (tahanan politik) bagi mereka yang dianggap sebagai anggota PKI, simpatisan serta anggota sayap organisasi dari PKI," ungkapnya.
Dikutip dari buku Pengakuan Algojo Tahun 1965 terbitan Tempo, rumah tahanan berlantai dua ini dikenal sebagai neraka bagi para tahanan. Meski rumah tahanan itu sudah berganti rupa, tapi bagi tahanan yang keluar dengan selamat, Jalan Gandhi tetap menyisakan kisah pilu.
"Dulu di situlah saya disekap dan menjalani siksaan," kata Astaman Hasibuan (73), yang dituduh terlibat PKI.
Cerita Astaman berawal setelah peristiwa 30 September 1965. Di Sumatera Utara, Pelaksana Khusus Daerah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Laksusda Kopkamtib) mengambil alih sekolah dasar milik Badan Kewarganegaraan Permusjawaratan Indonesia (Baperki), organisasi warga etnis Tionghoa yang dituduh menjadi pendukung PKI, itu.