SuaraSumut.id - "Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur menyisakan derita mendalam bagi korban dan keluarga dalam memulihkan rasa trauma. Negara harus berperan membantu penyintas kekerasan seksual untuk kembali bangkit"
Ketenangan warga di sebuah desa di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), terusik, pada Oktober 2020 silam. Desas desus adanya predator seks bersemayam di desa tersebut. Pelaku merupakan pria dewasa bukan saja memangsa putri kandung sendiri, namun juga salah seorang anak tetangga di desa tersebut.
Kasus kekerasan seksual ini telah dilaporkan ke Polsek Percut Sei Tuan, sesuai dengan Laporan Polisi: LP/ 2031/IX/2020/ SPKT Percut. Tapi hingga beberapa Minggu setelahnya, pelaku masih bebas berkeliaran.
"Hampir satu bulan laporan, pelaku belum ditangkap," kata ibu korban sebut saja Mawar, kepada SuaraSumut.id, Sabtu (11/12/2021).
Baca Juga:Oknum Polisi Lahat Dilaporkan Berzina dengan Istri Narapidana, Disidang Pagi Ini
Merasa kasusnya tidak diproses, ibu korban meminta bantuan warga sekitar, meski harus membuka aib putrinya yang masih berusia 7 tahun.
"Rumah pelaku hanya berjarak empat rumah dari rumahku. Anakku sering ke rumahnya. main sama anaknya," katanya.
Saat di rumah pelaku yang saat itu sedang sepi, korban dibekap. Tangan pelaku lalu dimasukkan ke bagian kelamuan korban.
"Korban diciumi pelaku, tangannya dimasukin, terjadi di Bulan Agustus akhir dan awal September (2020)," ujarnya.
Dalam melancarkan aksinya, kata Mawar, pelaku mengatakan agar korban tidak takut. Korban juga diancam agar tidak memberitahukan kepada orang lain.
Baca Juga:Menipu Jutaan Dolar Memakai Radio Kristiani dengan Pesan-pesan Yesus
"Kalau bilang (ke orang lain) nanti kau kupukul. Anak kandungnya juga dikerjainnya di depan anakku," kata Mawar menangis mengingat kejadian itu.
Perbuatan bejat pelaku akhirnya terkuak. Pada 13 September 2020, korban mengadu ke kakaknya.
"Dia ini (korban) gak berani bilang ke aku, beraninya cerita sama kakaknya. Dibilang anakku (kakak korban) begini, mak adek diapain sama oom itu, ditimpai, dijilati, tangannya dimasukin," katanya.
Mawar menjelaskan, perbuatan pelaku sangat merusak psikis dan fisik putrinya.
"Kemaluan anakku sampai robek, harus dibawa ke rumah sakit," jelasnya.
Mendengar penuturan itu membuat warga resah dan sepakat dibuka ke media massa. Harapannya polisi mendengar dan menindaklanjutinya. Tak lama berselang, polisi menghubunginya membahas kasus itu dan juga memarahinya.
"Saya dimarahi mengapa mengadu ke wartawan, ini bukan urusan mereka, ini urusan polisi," katanya.
Semenjak pemberitaan kekerasan seksual beredar luas, polisi semakin fokus menangani kasusnya.
Pelarian pelaku kandas. Pada Jumat (23/10/2020) pelaku berinisial N (32) ditangkap di lokasi persembunyiannya.
"Dia sudah divonis pengadilan 14 tahun kurungan penjara, dan dihukum kebiri," katanya.
Ia mengaku, hukuman yang diberikan untuk pelaku dirasa sudah setimpal, meski rasa luka derita yang timbul sulit untuk disembuhkan.
"Aku sekarang banyak utang karena biaya selama proses hukumnya. Sekadar untuk ongkos menghadiri sidang aku harus pinjam uang, saksi yang kubawa, gak mungkin gak kukasih makannya, minumnya," katanya.
"Belum lagi biaya perobatan anakku ke rumah sakit, karena kemaluannya koyak, gak bisa pakai BPJS," sambungnya.
Akibat perbuatan pelaku, kata Mawar, putrinya juga mengalami trauma mendalam.
"Sampai sekarang trauma anakku melihat orang dewasa," ungkapnya.
Dirinya juga berjuang seorang diri untuk menghilangkan rasa trauma yang dialami anaknya. Pascakejadian, komunikasi antara dirinya dan anak semakin intens.
"Untuk mengatasi trauma memberikan rasa kenyamanan, sering diajak berbicara dan sering diajak mengaji," katanya.
Selain itu, semua harus dihadapinya seorang diri. Pasalnya, sang suami pergi merantau ke Aceh dan tak kunjung kembali. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia berjualan makanan di rumahnya.
"Harapanku negara lebih melindungi korban kekerasan seksual, kalau bisa perobatan yang ditimbulkan akibat pelecehan dibantu, pemulihan traumanya juga. Ini yang aku alami gak ada, cuma orang kecamatan datang," katanya.
Kekerasan Seksual Anak Mendominasi
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian PPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di Sumatera Utara mendominasi di tahun 2021.
Hingga Desember 2021, tercatat ada 953 kasus kekerasan seksual. Rinciannya, 239 korban laki-laki dan 798 korban perempuan. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini terjadi di beberapa daerah di Sumut, seperti Kabupaten Langkat 124 kasus, Asahan 105 kasus, Deli Serdang 80 kasus, Tebing Tinggi 76 kasus, Labuhanbatu Utara 57 kasus, Karo dan Medan 54 kasus.
Jumlah kasus berdasarkan tempat kejadian paling banyak terjadi di rumah tangga, yaitu 541 kasus. Jenis kekerasan yang dialami korban di tahun ini tertinggi kasus kekerasan seksual berjumlah 461 kasus. Kekerasan fisik 378 kasus, dan penelantaran 71 kasus.
Sedangkan korban berdasarkan usia paling banyak di rentang usia di bawah 13 sampai 17 tahun ada 418 kasus, usia 25 sampai 44 tahunada 201 kasus, dan rentang usia 6 sampai 12 tahun ada 190 kasus.
Pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak paling banyak dilakukan oleh laki-laki berjumlah 685 kasus, dan perempuan 74 kasus.
Terima 826 Laporan Pelecehan Seksual
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Hadi Wahyudi mengatakan, ada 826 laporan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang diterima Polda Sumut dan Polres jajaran sepanjang 2021.
"Total ada 826 kasus kekerasan dan pelecehan anak. Untuk kasus pelecehan seksual dengan korban anak kandung ada 21 kasus," kata Hadi.
Kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak kandung yang masuk ke Polrestabes Medan ada tiga kasus, Polres Langkat tiga kasus, Polres Deli Serdang dua kasus. Kemudian Polres Simalungun satu kasus, Polres Labuhanbatu satu kasus, Polres Asahan satu kasus, dan Polres Serdang Bedagai satu kasus.
"Untuk Polres Dairi, Polres Tapanuli Tengah, Polres Toba, Polres Batubara dan Polres Tanjung masing-masing satu kasus. Sedangkan Polres Tapanuli Selatan dua kasus," katanya.
Laporan kasus kekerasan dan pelecehan anak terbanyak berada di Polrestabes Medan. Sejak Januari hingga 9 Desember 2021 terdapat 124 laporan kasus. Lalu Polres Labuhanbatu ada 72 laporan kasus, Polres Simalungun ada 68 laporan kasus, Polres Deli Serdang 62 laporan kasus, Polres Langkat 50 laporan kasus, Polres Tapsel 48 laporan kasus.
Dari 826 kasus, kata Hadi, saat ini ada 269 kasus masuk dalam penangan tahap kedua dan yang di SP3 ada 162 Kasus.
"Yang dihentikan penyelidikannya 20 kasus. Sudah dilakukan penyelidikan namun tidak cukup bukti," ungkapnya.
Hadi mengatakan, kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak termasuk dalam kasus prioritas yang tangani Polda Sumut dan Polres jajaran.
Pemikiran Keliru Perempuan Lebih Rendah
Ketua Yayasan Fajar Sejahtera Indonesia (YAFSI), Badriyah menjelaskan, kondisi kekerasan terhadap perempuan dan anak memang sangat mengkhawatirkan di Sumut.
Bukan hanya kuantitas, kualitas kekerasan seksual juga terjadi di tahun 2021. Seperti yang dialami seorang istri tahanan kasus narkoba di Kutalimbaru, Deli Serdang. Ia menjadi korban pemerkosaan dan pemerasan oknum polisi.
Belum lagi sejumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang baru ditindaklanjuti saat beritanya telah viral dan menjadi perhatian masyarakat luas.
"Ini sangat memprihatinkan," ujarnya.
Badriyah mengatakan, ada berbagai faktor yang menyebabkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumut. Salah satunya masih ada pemikiran yang keliru kalau perempuan lebih rendah dibandingkan dengan lelaki.
"Perempuan itu dianggap makhluk yang lemah, dianggap kelas kedua setelah laki-laki. Sehingga perempuan jadi dominan menjadi korban," ungkapnya.
Ia mengatakan, pemikiran laki-laki lebih tinggi di atas perempuan tidak lah benar. Apalagi sampai menjadi pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan.
"Jika kita kaji lagi secara agama, memang betul laki-laki, katakanlah suami dan ayah memang harus dihormati, diikuti dan ditaati, tapi kan masih ada koma, tidak serta merta dibenarkan semuanya," sambung Badriyah.
Menurut Badriyah, fondasi keluarga ramah anak dapat diharapkan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta keluarga ramah anak mampu memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak.
"Bagaimana kita bisa menciptakan keluarga yang ramah anak dulu. Apalagi sekarang kita tahu, kekerasan tidak hanya terjadi terhadap anak perempuan, anak laki-laki juga rentan," katanya.
Selain keluarga ramah anak, Badriyah juga menyampaikan pemahaman pendidikan seks terhadap anak harus sejak dini disampaikan.
"Contoh kalau dulu kita sering bilang ke anak jangan deket-deket orang asing, tapi sekarang cenderung orang terdekat adalah pelaku. Jadi anak harus diajarkan pendidikan seks sejak dini. Misal anak perempuan, ada hal-hal yang tidak boleh disentuh orang lain, kecuali diri sendiri," imbuhnya.
Sehingga ketika anak telah diberikan pemahaman pendidikan seks, dapat mencegah kekerasan seksual tejadi terhadap anak. Badriyah menyampaikan, negara juga harus berperan, salah satunya dengan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
"Saya sepakat harus segera disahkan. Berbicara tentang perlindungan anak dan perempuan itu tidak bisa menjadi tanggung jawab satu ataupun dua orang, tapi menjadi tanggung jawab bersama," katanya.
"Dari hulu dan hilir menjadi tanggung jawab bersama, kayak sapu lidi, kalau cuma satu-satu bagaimana kita mau cepat membersihkan sesuatu, tapi kalau kita bekerjasama itu kan lebih cepat," sambungnya.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Deli Serdang, Junaidi Malik mengatakan, fenomena kekerasan terhadap harus segera dihentikan. Selain itu, pemerintah harus bertanggung jawab dengan segera membuat langkah cepat tepat untuk bagaimana tidak ada lagi kejahatan seksual terhadap anak.
"Kita meminta masyarakat agar lebih memperhatikan keselamatan anak mulai dari tingkat keluarga dan lingkungan. Karena anakku, anakmu, anak kita semua. Setiap anak adalah anak kita, maka kita pasti akan melindungi setiap anak yang ada di sekitar kita. Anak ini masa depan kita," ujarnya.
Junaidi juga meminta para orangtua harus menjalin komunikasi yang baik dengan anak.
"Keluarga harus menciptakan suasana gembira dan toleransi terhadap anak sehingga kita bisa pantau perkembangannya. Pasti kan melindungi anak berarti menyelamatkan masa depan," jelasnya.
Pemikiran Patriarki Jadi Sumber Kekerasan dan Pelecehan
Lely Zailani dari Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) mengatakan, tingginya kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak dan perempuan dipicu banyak faktor. Namun yang paling utama hal itu didasari karena pemikiran.
Ia menjelaskan, orang yang taat beragama dan lainnya tidak bisa jadi patokan seseorang tidak melakukan kekerasan terhadap anak dan perempuan.
"Sebenarnya yang utama patriarki. Jadi dalam pemikiran perempuan itu posisinya di bawah laki-laki. Kalau soal ekonomi dan lainnya itu hanya pemicu," katanya.
Saat ini banyak kasus kekerasan dan pelecehan yang mencuat ke publik. Baik itu dengan melaporkan ke pihak kepolisian maupun melalui media sosial.
"Ini karena banyak korban atau pihak yang berani mengungkapkan peristiwa yang dialaminya," cetusnya.
Hingga 2021 pihaknya telah menangani sekitar 400 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Salah satunya kasus pelecehan terhadap mahasiswa di salah satu Universitas di Medan yang sempat mencuat ke publik.
Bicara soal kekerasan serta pelecehan terhadap perempuan dan anak, kata Lely, tidak selalu berkaitan dengan seksual. Contohnya, pelecehan secara verbal dan juga lainnya.
"Jenis kekerasan dan pelecehan itu banyak. Sumbernya karena patriarki tadi. Pola pikir dari orangnya. Meski taat beragama, ya kalau pikirannya isinya begitu ya begitu," ujarnya.
Soal perkembangan teknologi, kata Lely, juga memberikan pengaruh. Namun demikian, hal itu bukanlah pemicu, melainkan pematik terjadinya pelecehan terhadap perempuan dan anak.
Kontributor: Budi Warsito/M.Aribowo