Di Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu, nelayan tradisional juga mengalami kesulitan dengan hilangnya mangrove yang diduga akibat pengerukan pasir untuk bandara pada tahun 2008. Di desa ini, puluhan hektare mangrove lenyap setelah abrasi tak terelakkan. Dugaan kuat penyebabnya adalah pengerukan pasir laut pada tahun 2008.
"Dulu pantai ini masih jauh ke tengah sana sekitar 200 meter. Terjadinya abrasi salah satu penyebabnya adalah pengerukan pasir untuk Bandara Kualanamu. Dulunya mangrove di sini sangat bagus. Hitungan 10 tahun, sudah tergerus 200 meter. Hutan mangrove yang kami tanam ini 20 tahun lalu lenyap," ujar Ketua Serikat Nelayan Deli Serdang, Abdul Ajid.
Tantangan lainnya adalah trawl di wilayah tangkapan nelayan tradisional, sejauh 12 mil namun faktanya di jarak 200-300 meter dari bibir pantai. Nelayan tradisional harus berhadapan dengan kapal-kapal dari daerah lain yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan. Nelayan tradisional setiap hari terpaksa harus mencari ikan lebih jauh dari sebelumnya, karena di wilayah yang dekat dengan pantai sudah rusak.
"Jadi nelayan tradisional ini ada yang ke laut hitungan seminggu baru pulang, tapi ada juga ibu-ibu atau yang sudah tua cari ikan, kerang, kepiting dan udang di dekat-dekat sini. Nah ini sudah sedikit sekali tangkapan. Semakin berlumpur. Sebelum ada pengerukan pasir tak pernah seperti ini," katanya.
Baca Juga:Bertemu Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Kaesang Diberi Tiga Wejangan Ini
Berkurangnya tangkapan nelayan tradisional akibat hilangnya mangrove yang selama ini menjadi tempat berkembangbiaknya ikan, kepiting, udang, kerang dan lainnya. Menurutnya, lebih dari 10 hektare mangrove yang ditanam dulu sudah hilang.
Ia bersama dengan kelompok tani maupun lembaga yang perhatian terhadap nasib nelayan dan pesisir sudah berupaya keras untuk terus melakukan penghijauan. Saat ini tersisa sedikit saja hutan mangrove dan jika abrasi tidak bisa dihempang, benteng terakhir itu akan hilang. Ujungnya adalah air laut semakin masuk ke daratan.
"Kalau laut semakin masuk ke daratan, siap-siap yang terburuk. Sudah ada buktinya, ratusan meter sudah ditelan laut," ungkapnya.
Terombang-ambing seminggu di lautan untuk hidup sehari
Tokoh masyarakat di Desa Paluh Sibaji, Abdul Hamid menjelaskan, nasib nelayan tradisional saat ini sudah sangat drastis berubah. Tahun 1980-an, nelayan mencari ikan satu hari untuk hidup satu minggu. Sekarang untuk mencari ikan, harus ke laut selama seminggu, modalnya utang dan baru dibayar setelah pulang dari laut.
Baca Juga:Kini Ditutup, Lady Nayoan Ternyata Dapat Omzet Puluhan Juta Rupiah Sekali Jualan Live di TikTok Shop
"Bayangkan, kek gitu itu sama dengan ke laut seminggu untuk hidup satu hari. Begitulah sulitnya sekarang in," katanya.
Tak hanya jumlah tangkapan yang berkurang, jenis tangkapan juga semakin sedikit. Padahal dulunya bagi nelayan tradisional di Pantai Labu, mencari ikan ibarat menjemput. Dari rumah bawa alat tangkap seadanya, pulangnya sudah bisa bawa berbagai tangkapan laut dalam jumlah banyak. Dirinya berharap masalah yang dialami nelayan tradisional menjadi perhatian oleh banyak pihak.
"Kalau tidak ada penanggulangan, kampung ini bakal tenggelam. Habis. Harus ada pemasangan tanggul, pemulihan mangrove. Ini untuk memecah ombak dan mencegah abrasi. Masyarakat akan semakin miskin dan meninggalkan desa karena laut tak lagi menghidupi," akunya.
Dari tambak, sawit hingga dapur arang
Beberapa waktu lalu, pakar tropical ecology and biodiversity conservation, Fakultas Kehutanan USU Onrizal mengaku, berbicara deforestasi mangrove bisa dimulai dari massifnya usaha pertambakan udang dan ikan pada tahun 1970-an.
Usaha pertambakan udang dan ikan itu meredup seiring munculnya penyakit/hama dan sulit dikendalikan hingga kini. Usaha pertambakan di wilayah pesisir menuntut alih fungsi hutan mangrove yang menjadi pelindung pantai dari abrasi. Setelah tambak, yang menjadi penyebab deforestasi di hutan mangrove ini adalah perkebunan kelapa sawit.