SuaraSumut.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyesalkan tindakan yang melakukan penangkapan terhadap masyarakat adat di Simalungun, Sumatera Utara (Sumut).
Menurut Komnas HAM, penangkapan terhadap masyarakat adat ini tidak terlepas dari dari sejarah panjang konflik agraria antara masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Pamatang Sidamanik dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT TPL).
"Menyesalkan tindakan penangkapan terhadap masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara," kata Komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan dalam keterangan yang diterima, Kamis (25/7/2024).
Masyarakat adat ditangkap pada Senin 22 Juli 2024 pukul 03.00 dini hari. Penangkapan dilakukan di rumah masing-masing warga.
"Berdasarkan informasi awal yang diperoleh Komnas HAM, penangkapan tersebut dilakukan oleh sekitar 50 orang menggunakan 2 unit mobil keamanan dan truk coltdiesel," ujar Hari.
Beberapa korban, kata Hari, ditangkap saat sedang tidur dan diborgol serta dibawa pergi. Peristiwa ini juga disaksikan oleh keluarga dan sejumlah warga yang terbangun.
Adapun beberapa orang yang ditangkap diantaranya Tomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Prando Tamba, Hitman Gogo Ambarita dan Pak Kwin Ambarita.
Berdasarkan hal tersebut, Komnas HAM memberikan atensi khusus terhadap peristiwa ini dan akan memantau perkembangan penanganan perkara tersebut. Komnas HAM berpendapat dan merekomendasikan, antara lain:
Pertama, mendorong perlindungan terhadap masyarakat adat dan pembela HAM yang merupakan kelompok rentan. Selain itu, Komnas HAM juga meminta Polri untuk mengedepankan pendekatan HAM dan menghindari upaya pemidanaan terhadap pihak yang berkonflik, khususnya masyarakat adat, dalam upaya memperjuangkan hak atas tanahnya.
Komnas HAM memberikan catatan penting terhadap penangkapan yang diduga dilakukan oleh oknum yang menggunakan simbol perusahaan, bukan aparat penegak hukum.
"Tindakan tersebut dapat diidentifikasi sebagai upaya paksa yang tidak sah karena pihak yang berwenang melakukan penangkapan hanya penyidik, penyelidik atas perintah penyidik dan penyidik pembantu," ungkapnya.
Hari menyampaikan penangkapan menurut KUHAP merupakan tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan.
Adapun penangkapan dilakukan, jelas Hari, setidaknya mensyaratkan penangkapan didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, tidak dilakukan sewenang-wenang dan memiliki landasan hukum, tidak menggunakan kekerasan, dan dilengkapi dengan surat perintah penangkapan.
Sementara itu, apabila terdapat keterlibatan anggota Polri dalam proses tersebut, Komnas HAM mengingatkan penggunaan kekuatan Polri harus senantiasa menghormati prinsip dan standar HAM sebagaimana Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009.
"Sebagai pedoman dalam penggunaan kekuatan guna menghindari kekuatan yang berlebih dan tidak bertanggung jawab, antara lain prinsip legalitas, proporsionalitas, preventif, nesesitas, kewajiban dan masuk akal sebagai syarat," ungkapnya.
Kedua, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk ikut terlibat dalam penyelesaian konflik Agraria di sekitar wilayah kehutanan yang melibatkan korporasi dengan masyarakat, khususnya masyarakat adat.
Ketiga, Komnas HAM mendesak korporasi dalam hal ini PT. TPL untuk memedomani prinsip-prinsip bisnis dan HAM. Sebagai bentuk penghormatan HAM, korporasi harus memasukkan prinsip-prinsip HAM dalam kebijakan atau aturan internal.
"Serta mempertimbangan standar dan informasi tambahan terkait HAM dalam kegiatan operasional perusahaan," pungkasnya.