Ada juga kekerasan yang dialami orangtua dan anak-anaknya. Ini tentu mengakibatkan ketakutan atau trauma bagi anak-anak.
"Kita yang mendengar juga sangat sedih. Bukan saja karena mereka menangis, tapi mendengar cerita mereka tentang situasi dan kekerasan yang terjadi rasanya sangat menyedihkan dan membuat kita marah. Walaupun saya tidak meneteskan air mata, mendengar cerita itu sangat sedih," ujar Jhontoni.
Ia berharap, aduan dan keluhan masyarakat kepada KPAI, kiranya menjadi bahan pertimbangan bagi KPAI untuk segera mengambil peran dalam situasi konflik berlarut-larut di masyarakat adat Sihaporas.
Sebab, perjuangan mereka bukan hanya tentang tanah adat, tetapi saat ini juga menolak kekerasan dan penghilangan hak anak.
"Memang berjuang untuk tanah adat, untuk wilayah adat yang tetap lestari yang akan diwariskan sebagai masa depan termasuk masa depan anak-anak," cetusnya.
Ada juga problem serius yang dihadapi anak-anak. Ada anak menjadi korban kekerasan, yang melihat situasi saat ayahnya ditangkap polisi.
"Ada juga anak-anak yang kehilangan ayah karena bapaknya terpenjara. Atau ada anak-anak yang menjadi berjarak dengan bapaknya. Kita bisa bayangkan, anak sekolah, yang semula diantar-jemput bapak ke sekolah, tapi karena ayahnya ditangkap polisi, maka kasihan anak-anaknya tidak mendapat pendampingan saat menjalani pendidikan," cetusnya.
Dirinya meminta agar masyarakat adat yang memperjuangkan tanah leluhur segera dibebaskan. Dan tanah adat sesegera mungkin diakui pemerintah dan diserahkan kepada komunitas masyarakat adat.
![Komunitas masyarakat adat dari kawasan Danau Toba di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, foto bersama Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Ai Maryati Solihah di Jakarta, Senin (2/9/2024) sore. [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/09/04/14793-masyarakat-adat.jpg)
Tanah Adat Diakui Penjajah Belanda
Sejumlah ibu-ibu dari kawasan Danau Toba, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, keluarga korban kriminalisasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) bertolak ke Jakarta.
Mereka mengadu kepada sejumlah kementerian/lembaga negara dan keagamaan, untuk mencari keadilan atas tanah adat warisan leluhur selama 11 generasi, selama beratus tahun.
Selain mendatangi KPAI, mereka juga mengadu ke Komnas HAM, kemudian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Dan mereka akan tetap berada di Jakarta untuk menuntut keadilan.
Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) mengatakan, tanah nenek moyaknya sudah ditempati sejak kurang lebih 220 tahun silam.
Menurut Mangitua, mereka mengelola tanah adat leluhur. Tanah Sihaporas bahkan, telah diakui penjajah Belanda. Terbukti dengan terbitnya peta Enclave 1916 (29 tahun sebelum Indonesia merdeka).
Mereka bukan penggarap tanah. Terdapat 6 orang tetua desa Sihaporas juga menjadi pejuang Kemerdekaan RI. Ayahnya, Yahya Ambarita mendapat piagam legiun Veteran RI dari Menteri Pertahanan LB Moerdani tahun 1989.
Masih menurut Mangitua, pengolahan tanah Sihaporas memang dilakukan secara adat. Setiap kegiatan, mulai membuka lahan sampai panen, dilakukan dan diwarnai tradisi adat yang kental. Misalnya, membuka lahan disebut ‘manoto’, menggelar doa untuk meminta berkat dan permisi kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Mahakuasa), juga semacam pemberitahuan kepada alam semesta, bahwa akan dimulai menebang pohon.
Ketika hendak bercocok tanam padi darat (huma), dilakukan tradisi 'manjuluk'. Saat padi bunting, dilaksanakan tradisi ‘manganjab’, yaitu ritual bersama-sama di perhumaan. Dilaksanakan doa mohon kesuburan dan keberhasilan panen.