SuaraSumut.id - Seorang pria bernama Ngadap Tarigan mendatangi Mapolda Sumut. Kedatangan pria berusia 70 tahun untuk meminta keadilan dari Kapolda Sumut.
Ngadap memakai rantai besi berukuran di tangan dan kakinya, sebagai tanda bahwa keadilan untuk dirinya telah dipenjara. Sebab, sudah 11 tahun ia berjuang masih tetap tidak mendapatkan jawaban atas laporannya.
"Sudah 11 tahun saya berjuang untuk mendapatkan keadilan atas tanah saya. Tapi sampai sekarang tidak ada apapun yang saya dapatkan. Kasus saya dihentikan tanpa kepastian yang jelas," kata Ngadap, Senin (7/10/2024).
Ngadap menceritakan pada tahun 1990 ia dan istrinya membeli tanah di wilayah Desa Siboras Rakut Besi, Kecamatan Silima Kuta, Kabupaten Simalungun seluas 5.214 meter persegi kepada SN.
Ia juga membeli lahan seluas 6.499 meter persegi kepada KN. Kedua lahan yang dibelinya berbatasan dengan lahan milik MS di sebelah Barat, Timur dan Utara yang akhirnya dijual kepada ES dan MD.
Pada pertengahan tahun 2011, Ngadap dan istrinya menyewakan lahan seluas 65 hektare yang di dalamnya termasuk kedua lahan yang dibelinya di tahun 1990 tersebut. PT GRN selaku penyewa lalu meninggalkan lahan yang disewa tanpa pemberitahuan kepadanya.
Dirinya lalu memeriksa kondisi lahan dan mendapati jalan yang asli sudah berubah alurnya. Pengubahan ini diduga dilakukan oleh ES
setelah membeli lahan MS yang berbatasan dengan lahan miliknya.
Bahkan, ES telah menanami areal lahan milikinya berupa areal perbukitan seluas kurang lebih 2.000 meter persegi dengan tanaman jeruk manis.
Saat ditanya, ES berdalih bahwa lahan tersebut masuk dalam areal lahan yang dibelinya dari MS. Namun, berdasarkan alas hak tanah ternyata lahan yang disengketakan masih masuk dalam areal miliknya.
Di tahun 2013, saat masih berselisih dengan ES, seorang oknum Sekretaris Desa Siboras Rakutbesi diduga membantu menerbitkan sertifikat tanah atas lahan yang disengketakan itu.
Dalam Sertifikat Hak Milik Nomor 552 Tahun 2013 itu diketahui bahwa dalam proses pengukuran lahan untuk menerbitkan sertifikat, pihaknya selaku pemilik tahan berbatasan dengan tanah ES sama sekali tidak dilibatkan.
ES melakukan penetapan batas dan pengukuran tanah sepihak diduga atas bantuan oknum Sekretaris Desa tersebut. Dengan tidak hadirnya ia dalam proses pengukuran lahan, mengakibatkan lahan seluas 3.000 meter persegi miliknya menjadi milik ES berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor 662 Desa Siboras Rakutbesi tahun 2013.
Padahal, tidak pernah ada proses jual beli atau ganti rugi dari pihak Edy Sitepu kepada Ngadap Tarigan. Setelah ditelusuri berita acara pengukuran dan penetapan atas lahan yang disengketakan itu ternyata tidak pernah didaftarkan ke kantor Desa Siboras Rakutbesi.
Sebelumnya, di tahun 2013, BPN Simalungun dan Kejari Simalungun sudah mengupayakan mediasi terhadap kedua pihak. Bahkan, Kejari telah menyatakan bahwa lahan Ngadap Tarigan terbukti telah terhisap secara keliru atas kepemilikan ES dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik nomor 552 Desa Siboras Rakutbesi tahun 2013.
Keputusan ini ditolak oleh pihak ES dan terus melakukan penguasaan atas lahan yang bukan miliknya. Dirinya lalu melaporkan perkara itu ke Polda Sumut.
Adapun pihak yang dilaporkan adalah MS dan RS selaku pihak yang menjual tanahnya. Nama lain yang dilaporkan adalah ES yang diduga melakukan penyerobotan atas lahan miliknya.
Dirinya juga melaporkan JG karena diduga terlibat dalam permufakatan jahat memanipulasi data dalam proses penerbitan sertifikat yang menghisap lahan miliknya.
Hingga September 2024, perkembangan kasus tersebut tidak berjalan, baik di Polres Simalungun maupun Polda Sumut.
Menurut informasi yang diperolehnya, terlapor JG sama sekali belum pernah datang memenuhi panggilan penyidik, walau sudah beberapa kali dilayangkan surat panggilan.
Anehnya, dalam surat panggilan itu, JG dipanggil sebagai saksi, bukan terlapor.
Dirinya berharap Polda Sumut bisa segera memberinya keadilan untuk memperoleh hak nya kembali atas lahan yang sudah dimilikinya selama puluhan tahun itu.
"Apa saya ini bukan warga negara Indonesia? Sampai saya harus begini dulu untuk meminta keadilan. Kenapa saya diperlakukan dengan sangat tidak adil seperti ini," katanya.
Aksi yang dilakukan oleh Ngadap Tarigan sempat menuai bentrokan antara masa aksi yang merupakan keluarganya dengan oknum Polda Sumut. Pasalnya, salah seorang oknum sempat membanting pintu mobil di hadapan massa aksi.