Berikut poin utama berdasarkan regulasi di Indonesia:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN
- Pasal 2 huruf f menyatakan bahwa ASN wajib menjaga netralitas dan tidak memihak kepada kepentingan politik tertentu.
- Meskipun kepling tidak selalu berstatus ASN penuh, mereka dianggap sebagai perangkat pemerintahan yang tunduk pada prinsip netralitas, terutama saat menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelayanan publik.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
- Pasal 280 ayat (2) dan (3) melarang pejabat negara, termasuk perangkat desa atau lingkungan, menggunakan wewenangnya untuk memengaruhi pemilih atau mendukung pasangan calon.
- Pasal 282 secara khusus melarang pejabat pemerintahan terlibat dalam kampanye politik.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS
- Mengatur sanksi bagi PNS yang melanggar netralitas, seperti memberikan dukungan terbuka atau terselubung kepada calon dalam pemilu/pilkada, yang juga menjadi acuan bagi kepling berstatus kontrak atau honorer.
4. Surat Edaran dan Imbauan Bawaslu
- Bawaslu kerap mengeluarkan surat edaran menjelang pemilu atau pilkada, menegaskan larangan kepling terlibat dalam politik praktis, seperti mengarahkan warga untuk memilih calon tertentu atau menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik.
- Contoh: Dalam Pilkada 2024, Bawaslu mengingatkan kepling untuk tidak memanfaatkan posisinya dalam kegiatan kampanye atau pengerahan massa.
Konsekuensi Pelanggaran
- Sanksi administratif, seperti teguran, penurunan pangkat, hingga pemberhentian, dapat diberikan kepada kepling berstatus ASN atau kontrak.
- Pelanggaran berat, seperti pengerahan massa atau penyalahgunaan wewenang, dapat diproses sebagai pelanggaran pemilu oleh Bawaslu atau bahkan masuk ranah pidana pemilu.
Status kepling bervariasi antar daerah (honorer, kontrak, atau sukarelawan), tetapi prinsip netralitas tetap berlaku karena mereka mewakili pemerintahan di tingkat lokal.