SuaraSumut.id - Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2025 sejatinya menjadi momentum bagi para buruh, menagih kesejahteraan kepada pengusaha dan pemerintahan. Bukan sekadar gegap gempita acara seremonial.
Hingga kini, hak-hak buruh di Indonesia termasuk di Sumatera Utara (Sumut), untuk dapat hidup layak sebagai buruh, belum terwujud.
Pemerintah yang diharapkan dapat melindungi buruh malah dalam posisi dilematis dengan lesunya pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Pengamat Kebijakan Publik, Elfenda Ananda mengatakan kondisi buruh secara global termasuk di Sumut, memang tidak banyak mengalami perubahan.
"Sebenarnya kalau dilihat secara global persoalan buruh ini kan tidak banyak perubahan, pertama soal upah yang dituntut, lebih cepat kebutuhan hidup yang meningkat, ketimbang upah," katanya kepada SuaraSumut.id, Rabu 30 April 2025.
Dengan kondisi lesunya pertumbuhan ekonomi, Elfenda menyampaikan membuat pemerintah pusat maupun daerah, tak bisa berbuat banyak membantu buruh.
"Memang pemerintah daerah tidak bisa memaksa dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin melemah dan kondisi ekonomi yang tidak semakin membaik, memang dilema di sini," ujarnya.
Padahal, Elfenda menyampaikan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan sejak tahun 2020 silam dan dianggap memberi ruang yang menguntungkan pengusaha tidak serta merta membuat investor ramai datang.
UU Omnibus Law Cipta Kerja ini malahan dituding tidak melindungi buruh karena lebih menguntungkan pengusaha.
"Hal ini lalu menjadi problem yang lain untuk buruh di level tingkat nasional ataupun daerah, nah ini yang kemudian ada persoalan upah, persoalan kesejahteraan, persoalan PHK, persoalan ini tidak berubah dari dulu," ucapnya.
"Persoalan ini sekarang semakin terjepit lagi karena persoalan ekonomi semakin tidak membaik yang membuat akhirnya situasi buruh terhimpit," sambungnya.
Efisiensi Memperparah Keadaan
Di tengah kesulitan ekonomi yang terjadi, Elfenda menerangkan, pemerintah kemudian menerapkan kebijakan efisiensi, yang membuat sektor buruh ikut efisiensi.
"Kita tahu pemerintah sekarang sedang melakukan efisiensi anggaran, artinya belanja pemerintah semakin sedikit untuk hal-hal yang diefisiensi, sementara di bidang jasa hotel kemudian wisata ini akan semakin turun belanjanya," imbuhnya.
Akibatnya, buruh-buruh di hotel, di bidang jasa, kata Elfenda, akan semakin terjepit dengan adanya kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah.
"Jadi seandainya pun pemerintah melakukan kebijakan memang serba sulit, padahal di satu sisi kewajiban pemerintah melindungi tenaga kerja Indonesia dari berbagai persoalan-persoalan yang selama ini rentan, ini problem dari sisi pemerintah daerah," ucapnya.
"Dari sisi persoalan perburuhan memang mengalami persoalan yang cukup pahit ya, belakangan ini. Situasinya tidak begitu menguntungkan," tambahnya.
Menurut Elfenda, pemerintah tetap bisa melakukan upaya-upaya untuk melindungi tenaga kerja karena Indonesia juga sebagai pasar menjual produk-produk yang pengusaha sudah ciptakan atau sudah produksi.
"Ini tetap menjadi posisi tawar pemerintah untuk melakukan, melindungi nasib buruh di Indonesia. Jadi substansi, rohnya itu adalah tugas pemerintah melindungi berbagai persoalan yang menimpa para buruh di Indonesia," ungkapnya.
Bonus Demografi
Lebih lanjut Elfenda menjelaskan, Indonesia yang akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030-2045 harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan ekonomi bangsa.
"Jadi kalau dari sisi bonus demografi secara teori itu memang sebenarnya ini adalah momen kita meraih bonus," cetusnya.
Tapi kalau momen bonus demografi itu sekadar hanya jumlah, Elfenda menuturkan lalu kemudian tidak disikapi atau tidak dipersiapkan dengan baik itu akan jadi lewat begitu saja.
"Bukan malah menguntungkan tapi kemudian bisa tidak dimanfaatkan sebaiknya, harusnya jadi bonus bisa ke arah negatif," jelasnya.
Elfenda menerangkan pemerintah mesti piawai dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sehingga diharapkan akan berdampak nyata kepada buruh.
"Sebenarnya kalau memang pemerintah menyiapkan karpet merah dengan undang-undang yang dibuat, artinya harus memangkas berbagai birokrasi untuk prosedur perizinan, itu jauh lebih progresif Vietnam ketimbang Indonesia," ungkapnya.
Namun, belum lagi proses perizinan yang bikin ribet, Elfenda menyampaikan investor malah dihadapkan dengan adanya Ormas preman yang melakukan pungli.
"Kemudian keamanan berinvestasi tidak ada itu di luar negeri orang berinvestasi dikompasi (dipalak), kemudian membuat bangunannya ditongkrongin, tidak pernah terdengar itu di luar. Justru investasi mudah di luar, ini yang susah," ujarnya.
Elfenda juga melihat fenomena banyaknya warga negara Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri, karena faktor kurangnya penghargaan dari pemerintah.
"Toh banyak juga tenaga kerja kita di luar itu dapat diandalkan dan dipekerjakan mahal tapi kan justru di sini penghargaan itu kurang. Itu yang kemudian menjadi evaluasi bagi pengelola negeri ini," katanya.
Kontributor : M. Aribowo