SuaraSumut.id - Cuaca sedikit panas pada pekan lalu di Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Sumut).
Saat itu rombongan dari Green Justice Indonesia (GJI) bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan juga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Humbang Hasundutan berkumpul di salah satu rumah warga.
Mereka membicarakan tentang keberadaan masyarakat adat di Dusun Hopong, asal usul, cara hidup dari memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan kearifan lokal yang dimilikinya serta bagaimana mengelola wilayah adatnya.
Dusun ini berada di blok timur kawasan ekosistem Batang Toru. Dari perbincangan yang panjang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Batak, diketahui bahwa mereka sudah mendiami wilayah ini sejak raturan tahun yang lalu.
Ya, hutan yang menjadi penopang kehidupan mereka, juga menjadi habitat bagi satwa paling langka yang dilindungi, orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Selama ini, mereka hidup berdampingan harmonis tanpa adanya konflik. Saat wawancara, Direktur Green Justice Indonesia, Panut Hadisiswoyo mengatakan, Hopong memiliki nilai yang sangat strategis.
"Masyarakat adat Hopong sudah hidup ratusan tahun berdampingan dengan alam, dengan ekosistem dan juga spesies di sini selama ratusan tahun dan sudah mengelola secara lestari bukti bahwa masyarakat dapat juga melakukan upaya-upaya perlindungan ekosistem dan hutan dan juga harangan-harangan yang memang menjadi tempat hidup masyarakat adat, terutama di Hopong ini," katanya.
Dirinya mengatakan masyarakat adat Hopong hidup di sini dapat bertahan hidup, mendapatkan kelayakan hidup yang memadai akibat menghargai alamnya yang memang menjadi tempat tumpuan hidup mereka.
Hal tersebut menjadi kunci utama terutama mereka mengakui adanya fungsi lindung, fungsi konservasi, sumber air, tempat-tempat mereka bisa mendapatkan manfaat dari hutan secara berkelanjutan, tanpa merusak hutan, memiliki persawahan sehingga mendapatkan kehidupan yang layak.
"Green Justice Indonesia di sini mendampingi masyarakat Hopong dalam kaitannya mendapatkan pengakuan hutan adat Hopong melalui berbagai proses, yang pertama adalah pemetaan partisipatif dan menggali semua informasi, baik dari segi tata guna lahannya, sejarah dari kewilayaan Hopong ini, dan juga terkait dengan data-data sosial yang memang penting sekali dalam mendukung mendapatkan pengakuan hutan Adat," ujarnya.
Pihaknya memfasilitasi dari segi penguatan kapasitas seperti pertanian berkelanjutan dan juga berbagai aktivitas pendidikan lingkungan lainnya.
Saat ini GJI bersama BRWA sedang melakukan verifikasi, sehingga data-data yang akan diperlukan nantinya untuk pengakuan resmi oleh pemerintah sebagai hutan adat dan sebagai masyarakat hukum adat Hopong dapat dipenuhi secara maksimal.
"Saat ini kita mendapatkan banyak sekali informasi, data-data terkait dengan kewilayahan Hopong, harangan-harangan yang memang sudah diakui dan dikelola oleh masyarakat secara lestari misalnya sungai, air Hopong, dan sebagainya," ungkapnya.
Menguatkan Masyarakat Adat dan Melindungi Hutan
Selain itu, informasi sejarah, kapan berdirinya kampung ini, siapa yang pertama kali datang kemari, ada berapa marga yang disini yang memang sudah hidup turun-temurun dan juga bersama-sama masyarakat secara kolektif mengelola lahan, mengelola tanah mereka secara adil dan secara lestari, di mana semua mengumpulkan nilai-nilai adat untuk kesejahteraan masyarakat Hopong.
"Sehingga semua masyarakat adat di Hopong ini merasa satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan hutannya, harangan, dan juga ekosistem," ucapnya.
Panut menambahkan, Hopong berada di blok timur kawasan ekosistem Batang Toru yang menjadi habitat satwa dilindungi dan paling langka, salah satunya adalah orangutan tapanuli.
Wilayah ini harus diberi perhatian besar karena populasi orangutan tapanuli sudah sangat sedikit dibandingkan dengan kera besar lainnya.
Green Justice Indonesia mendorong upaya-upaya konservasi yang inklusif, yang juga selalu melibatkan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem Batang Toru yang lestari. Kemudian mempromosikan kehidupan yang harmonis antara masyarakat dengan alam.
"Apa yang akan terjadi di wilayah ini bila tidak ada perhatian ataupun dukungan dari pemerintah untuk mengakui ini sebagai wilayah adat atau hutan adat, kita mengkhawatirkan adanya degradasi ke depan karena semakin besarnya tekanan dunia luar yang terus berupaya untuk menggerus sumber daya alam, sehingga ini menjadi ancaman serius," jelasnya.
"Karena kita memahami dan meyakini bahwa dengan pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat adat, itu sangat-sangat penting dan sangat efektif untuk melindungi ekosistem dan melindungi kehidupan yang memang ada di dalam wilayah adat tersebut," sambungnya.
Dirinya berharap Pemkab Tapanuli Utara memberikan pengakuan terhadap wilayah adat ini yang memang memiliki sejarah yang penting yang tidak dapat dipisahkan.
Sebab, dulunya di sini adalah wilayah-wilayah yang memiliki hubungan yang sangat spiritual terhadap kelangsungan ekosistem, keberlangsungan juga berbagai marga di masyarakat di Tapanuli dan sekitarnya.
"Ini menjadi penting, menjadi tanah yang sakral, yang harus mendapatkan perhatian dan juga diberi pengakuan secara resmi sebagai wilayah adat dan hutan adat oleh pemerintah," cetusnya.
Panut menambahkan, masyarakat Hopong sejak dulu mengenal sistem zonasi hutan, pemanfaatan, perlindungan, dan konservasi.
Hal tersebut menjadi kunci mereka bertahan. Mereka juga memiliki pengetahuan di mana bisa mengambil hasil hutan dan di mana yang merupakan wilayah sakral.
Salah satu simbol kuat adalah gua yang berada di kawasan hutan Hopong. Gua itu sejak zaman lama sudah dikenal dan menjadi tempat hubungan spiritual masyarakat dengan alam. Hingga kini, gua itu diyakini sebagai ruang sakral, tempat manusia dan alam saling menjaga.
"Ini bentuk konservasi yang lahir dari kearifan lokal,” katanya.
Tak cuma gua, di dusun ini juga terdapat sejumlah patung dan ogung (gong) yang juga dianggap sakral.
Dulunya patung-patung itu berada di sejumlah titik dan kemudian disatukan di satu tempat bersebelahan dengan rumah warga untuk melindunginya dari kerusakan ataupun hilang dengan berbagai sebab. Dikatakannya, hutan, bagi masyarakat Hopong ebih dari sekadar ruang hidup.
"Hutan ini bukan hanya sumber pangan atau air, tetapi juga identitas mereka. Tanpa hutan, masyarakat Hopong kehilangan jati dirinya,” ujarnya.
Mendokumentasikan Warisan Leluhur
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah BRWA Sumatera Utara, roganda Simanjuntak mengatakan, kegiatan ini penting untuk menyelamatkan pengetahuan adat yang hampir hilang. Dikatakannya, masyarakat sudah mendiami Dusun Hopong ini selama 17 generasi atau hampir 500 tahun.
"Kita dokumentasikan agar sejarah mereka tidak hilang, dan menjadi bahan rujukan bagi generasi mendatang serta pemerintah. Proses pendokumentasian dilakukan secara partisipatif, dengan mendengar langsung kisah dari para tetua, perempuan, dan pemuda. Materi yang dihimpun meliputi sejarah kampung, garis keturunan, aturan adat, pengelolaan hutan, hingga pola pertanian ramah lingkungan,” katanya.
Dijelaskannya, dokumen ini nantinya akan menjadi bukti penting dalam proses advokasi agar masyarakat adat Hopong diakui secara hukum. Dengan catatan sejarah yang jelas, pemerintah bisa melihat bahwa masyarakat adat memang nyata ada dan telah menjaga hutan selama berabad-abad.
Setelah pendokumentasian sejarah adat selesai dilakukan BRWA Sumatera Utara, masyarakat Hopong kini menaruh harapan besar kepada pemerintah daerah dan pusat. Mereka meminta agar Bupati segera menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang menetapkan keberadaan mereka sebagai masyarakat adat dengan wilayah adat yang sah.
![Kearifan Lokal dan Sejarah Dusun Hopong. [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/21/38312-desa-hopong.jpg)
“Harapannya, setelah terdokumentasi, pemerintah kabupaten hingga kementerian kehutanan mengakui keberadaan masyarakat adat Hopong. Kami ingin hutan adat yang diwariskan leluhur dikembalikan dan dilindungi,” katanya.
Roganda Simanjuntak mengatakan, penggalian informasi dilakukan dari orang tua, perempuan, raja ni huta, terlihat dengan jelas bahwa mereka sangat berhasil mengelola wilayah adatnya ini dengan sangat baik.
Pengetahuan yang diwariskan leluhurnya masih dijalankan hingga kini. Mulai dari pelestarian hutan adatnya, praktik berkebun tanpa merusak hutan, dan menanam padi untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Peradilan Adat dan Keniscayaan Pengakuan Negara
Komoditas yang ditanam seperti pinang, durian, petai, manggis, dan lain-lainnya, adalah cara mereka untuk bisa mandiri dan berdaulat mengelola wilayah adatnya. Mereka sangat piawai karena mewarisi pengetahuan dari leluhurnya.
“Bahkan mereka masih memiliki hukum adat kalau kita menyebutnya sekarang dengan istilah peradilan adat. Ada Raja Nihuta, ada Natua-tua Ni Huta yang secara ad hoc menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di Huta Hopong. Dan menurut penuturan mereka, belum pernah sejarahnya sampai sekarang, satu persoalan pun yang tidak bisa diselesaikan di kampung ini. Artinya, pihak kepolisian atau kepala desa dan pemerintah di luar Hopong belum pernah terlibat di penyelesaian kasus-kasus atau persoalan di internal huta ini,” katanya.
Selain itu, juga ada orang kaya yang bisa membantu melaksanakan supaya acara-acara adat, ritual adat bisa berjalan dengan baik. Dengan demikian, pihaknya melihat di masyarakat adat di Hopong betul-betul masih memiliki identitasnya. Hal tersebut sebagaimana yang berhasil didokumentasikan bersama masyarakat.
Harapannya dapat menjadikan masyarakat semakin solid karena memiliki warisan sejarah dan pengetahuan dari leluhur sampai ke generasi yang akan datang.
“Dari informasi para tetua-tetua adat yang ada di sini, mereka sudah mendiami, hutak ini sudah ada di 17 generasi, hampir 500 tahun mereka berdiam mengelola wilayahnya secara lestari dan mereka sudah buktikan bahwa mereka memang adalah masyarakat adat. Identitas jati diri mereka masih jelas,” katanya.
Menurutnya, dengan demikian pemerintah di daerah dan pemerintah pusat sewajarnya harus mengakui dan menetapkan mereka sebagai masyarakat adat yang memiliki wilayah adat yang dikelola dan sudah dipetakan secara partisipatif.
Peta wilayah adat yang mereka buat itu tidak lepas dari sejarah leluhur mereka membagi ruang hiddup dengan jejak-jejak sejarah sedemikian rupa.
“Artinya sangat layak untuk diproses oleh pemerintah dalam bentuk pengakuan dan penetapan. Baik wilayah adatnya, mereka sebagai masyarakat adat dan sekaligus pemilik hutan adat yang ada di wilayah adat Hopong,” katanya.
Dengan adanya pengakuan itu, ada kepastian hukum bagi masyarakat adat di Hopong dan masyarakat adat lainnya yang sedang berjuang untuk mempertahankan wilayah adatnya.
Kedua, supaya baik itu pemerintah ataupun pihak swasta tidak semena-mena untuk mengambil tanpa persetujuan masyarakat adat pemilik wilayah adat. Menurut Roganda, kasus perampasan atas wilayah adat itu terjadi hampir di mana-mana.
"Nah Ketika ada tumpang tindih dengan klaim kawasan hutan negara, ternyata tidak juga menjamin atas lestarinya atau terlindunginya hutan adat. Nah oleh karena itu kita mendesak dengan ditetapkan menjadi hutan adat, yang pasti masyarakat adat melalui pengetahuan yang diwarisinya terbukti kok. Terbukti melestarikan hutan adatnya dengan lestari dan berkelanjutan hingga ke anak cucunya mereka,” katanya.