- Youth Geopark Caldera Toba UNESCO menyerukan boikot produk TPL.
- Kekerasan yang dilakukan TPL terhadap masyarakat adat menunjukkan kegagalan negara memberikan perlindungan.
- Mendesak pemerintah pusat dan daerah segera mengambil langkah tegas.
SuaraSumut.id - Ketua Youth Geopark Caldera Toba UNESCO, Gito Pardede, mengecam keras bentrokan antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan masyarakat adat Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, pada Senin (22/9/2025).
Gito menyebut kekerasan itu sebagai tragedi kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi. Dirinya pun menyerukan dunia untuk memboikot produk TPL.
"Produk TPL bukan lahir dari pembangunan berkelanjutan, melainkan dari darah masyarakat Toba yang dipaksa kehilangan tanah, rumah, dan hidupnya,” kata Gito dalam keterangannya, jumat 26 September 2025.
Menurut catatan organisasi masyarakat adat, bentrokan itu menyebabkan puluhan warga mengalami luka-luka, termasuk perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Sejumlah rumah dan kendaraan juga dilaporkan terbakar.
Seruan Boikot Global
Gito menilai, kekerasan yang berulang antara perusahaan bubur kertas itu dengan masyarakat adat menunjukkan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan.
“Kami meminta dunia internasional, termasuk UNESCO dan jaringan masyarakat sipil global, untuk tidak menutup mata. Jangan membeli produk TPL yang hadir dari pertumpahan darah. Setiap lembar kertas yang mereka produksi menyimpan luka masyarakat adat,” ujar Gito.
Ia menambahkan, Geopark Kaldera Toba yang sudah diakui UNESCO seharusnya dijaga dengan prinsip keberlanjutan. Eksploitasi dan perampasan tanah adat, kata dia, bertentangan dengan nilai pelestarian alam dan budaya yang menjadi dasar geopark global.
Desakan kepada Pemerintah
Selain menyerukan boikot global, pihaknya juga mendesak pemerintah pusat dan daerah segera mengambil langkah tegas.
"Kami menuntut pencabutan izin PT TPL dan pengembalian tanah adat kepada masyarakat Sihaporas. Negara tidak boleh lagi abai terhadap jeritan masyarakat adat," ucap Gito.
Konflik lahan antara PT TPL dengan masyarakat adat di sekitar kawasan Danau Toba sudah berlangsung menahun. Berulang kali terjadi benturan fisik, namun penyelesaian komprehensif belum juga terlihat.
“Ini bukan hanya konflik lahan, tetapi krisis kemanusiaan dan ekologi. Dunia harus tahu, Danau Toba bukan ladang eksploitasi, melainkan warisan dunia yang harus dijaga,” kata Gito.