Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Rabu, 11 Agustus 2021 | 10:51 WIB
Aksi Massa Aliansi Gerak Tutup TPL di Depan Kantor Bupati Humbang Hasundutan (Senin,19/7). [Barita N. Lumbanbatu]

SuaraSumut.id - "Kami di sini turun ke jalan sebagai usaha untuk menyelamatkan danau toba. Salah satu perusaknya adalah PT. TPL (PT. Toba Pulp Lestari). Kami meminta rekomendasi (Bupati Humbang Hasundutan) untuk segera mencabut izin TPL," kata Jhontoni, pimpinan aksi Gerak Tutup TPL saat orasi di Kantor Bupati Humbang Hasundutan di Doloksanggul, Senin 19 Juli 2021.

Dalam aksi long march dari kantor DPRD menuju Kantor Bupati Humbahas itu melibatkan masyarakat adat (Aek Lung, Pandumaan-Sipituhuta, PargamananBintang Maria, Sijama Polang, Sait Ni Huta), organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa.

Massa aksi bertemu langsung oleh Sekda, Tonny Sihombing. Dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan Satpol PP, dirinya berjanji akan melanjutkan aspirasi ini ke tingkat yang lebih tinggi (pemerintah pusat). Aksi berlangsung dengan protokol kesehatan, massa aksi menggunakan masker.

"Bupati tidak adak ada di tempat, lagi ada rapat soal covid, yang penting surat kalian sudah kami terima dan akan kami pelajari," kata Wakil Bupati Humbang Hasundutan, Oloan P. Nababan kepada massa aksi.

Baca Juga: Luhut Hapus Indikator Kematian, PKS: Jangan-jangan Ada Pejabat Tak Percaya Covid

Aksi itu adalah serangkaian dari gerakan,tergabung dalam massa Gerak Tutup TPL yang sudah berlangsung beberapa bulan terakhir di beberapa titik di kawasan Danau Toba ( Kabupaten Toba, Simalungun, Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan.

Konflik Panjang

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) milik PT. Toba Lestari mencapai 185.000 hektar, tersebar di 12 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Hal ini menimbulkan konflik panjang dengan masyarakat lokal yang sudah mendiami atau mengelola hutan sebagai sumber ekonomi secara turun-temurun.

Misalnya saja di kabupaten Humbahas, masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta telah mendapatkan pengakuan hutan adat seluas 5.172 hektar sesuai SK Pendadangan Hutan yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidupdan kehutanan Januari 2021 lalu.

"Namun saat ini masih belum semua diberikan hak masyarakat. Kini datanya berubah lagi datanya di KemenLHK menjadi 5.082 ha," kata Rocky, Staf Advokasi KSPPM.

Baca Juga: AI Dapat Deteksi Tanda Psikopat Hanya dari Gerakan Kepala

Masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, bertahun-tahun berjuang untuk mendapatkan kembali hutan yang sebagian berisi tanaman endemik yaitu pohon kemenyan.“Kami menolak TPL menanam lagi di wilayah kami (hutan adat)," kata Ama Liston Lumbanbatu, salah satu petani kemenyan saat diwawancara di kediamannya di Desa Pandumaan, Humbahas.

Dirinya mengaku pernah diancam oleh aparat kepolisian bersama dengan pihak perusahaan saat mencoba menanam bibit eukaliptus di wilayahnya. Intimidasi juga dialami oleh masyarakat Natumingka, Kec. Borbor, Kab. Toba. Ada 11 orang alami luka-luka, satu di antaranya orangtua berusia 75 tahun yang luka di bagian kepala akibat benda tumpul.

"Konflik bermula saat perusahaan berusaha menanam kembali eukaliptus di lahan sengketa. Warga menolak kedatangan pihak keamanan bersama dengan sekitar 500 truk berisi bibit," kata Roganda dalam keterangan yang dikeluarkan oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Tano Batak, pendamping masyarakat.

Penyidik Polres Toba, Hefson Sirait, mengatakan bentrok yang terjadi pada 20 Mei lalu berujung pada saling melaporkan, keduanya masih dalam tahap penyelidikan. Sementara itu, pihak kuasa hukum masyarakat belum mengetahui adanya pelaporan oleh Pihak TPL.

"Sampai saat ini kami belum menerima laporan terkait," kata Roy Marsen, Bakumsu, Kuasa Hukum masyarakat Natumingka.

Dedy Armaya mengatakan areal konflik tersebut masih dalam lahan izin konsesi TPL.

"Kalau sudah ada perda mengenai hutan adat (Natumingka) kami patuh, ini kan belum”, kata Dedy dalam saat wawancara melalui sambungan telepon.

Seorang petani kemenyan mengumpulkan hasil menderes getah pohon kemenyan di hutan adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kab. Humbahas. [Barita N. Lumbanbatu]

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) IV Balige, Leonardo Sitorus memberikan keterangan bahwa secara hukum wilayah Desa Natumingka, Kecamatan Borobor, Kabupaten Toba berada di dalam konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pulp Lestari.

"Pada prinsipnya hutan adat adat mesti memiliki subjek dan objek. Subjeknya memang ada masyarakat yang mendiaminya, objeknya ada wilayah," katanya melalui sambungan telepon.

Dari hasil investigasi dan inventarisir, KPH IV Balige menemukan keberadaan makam leluhur, bekas persawahan dan perladangan masyarakat. Namun, dalam prosesnya pengakuan wilayah adat masih dalam proses verifikasi. Tahapannya mesti ada SK Bupati lalu verifikasi oleh KPH, kemudian disahkan oleh KemenLHK dengan terbitnya SK. Pencadangan Hutan.

Berdasarkan data SK Menteri LHK No. 352, tertanggal 21 Juni 2021, hal. 8, Daftar Usulan Hutan Adat di lingkungan Danau Toba, dari total pengajuan 2.410 ha di Areal Desa Natumingka, ada 1.158 ha yang masuk di dalam areal konsesi TPL, selebihnya berada di luar izin.

"Kabupaten Toba ada tiga daerah yang sudah melewati proses verifikasi; Desa Matio, Natumingka dan Desa Motung," katanya.

AMAN Tano Batak mencatat dalam kurun lima tahun terakhir (2016-2021) PT. TPL telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat sebanyak 63 orang.

Kerusakan Lingkungan

"Sudah sangat-sangat merugikan. Kami menanam padi dan jagung, tapi habis dimakan babi hutan. Harapan kami segera mungkin TPL ditutup," kata Eva Junita Lumbangaol, warga adat Pargamanan Bintang Maria saat aksi di kantor Bupati Humbahas.

Menurut data Walhi Sumut, perusahaan yang dulunya bernama Indorayon itu telah menyumbang laju perambahan hutan terbesar sepanjang satu decade terakhir.

"Dari 167.912 hektar izin konsesi TPL, ada 46.885 hektar berada di kawasan bentang alam Tele (Humbang Hasundutan)," kata Doni, Direktur Walhi Sumut.

Menurut Doni, hal itu tak hanya merusak atau merampas ruang hidup masyarakat dan masalah social, ada pencemaran udara, pencemaran air hingga perambahan hutan.

Pada 28 Juli 2021, Aliansi Gerakan Tutup TPL melakukan aksi di depan gedung kantor milik Sukanto Tanoto tersebut, di Jalan MT. Haryono No. A-1 Gedung Uniplaza, Medan, Sumatera Utara. Dalam rilisnya mereka meminta Presiden bersama dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menutup dan mencabut izin PT. Toba Pulp Lestari karena dianggap menjadi akar masalah dari konflik structural, bencana ekologis, dan juga deforestasi.

Hal itu mendapat perhatian oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo yang dalam keterangannya mengusulkan pemerintah untuk mewajibkan PT. Toba Pulp Lestari melakukan pemulihan ekosistem Danau Toba dan sekitarnya.

Dia mengusulkan PT. TPL melakukan pemulihan hutan lindung di sekitar daerah tangkapan air Danau Toba, penataan hutan masyarakat di pinggiran hutan lindung, rehabilitasi dampak limbah gas, cair dan padat terhadap penduduk, serta penataan seluruh pesisir danau toba. Hal itu ia sarankan agar kegiatan perikanan masyarakat berjalan dengan baik.

"Tuduhan perusahaan (PT. Toba Pulp Lestari) merusak lingkungan tidak benar, dan tidak berdasarkan fakta di lapangan”, kata Jandres Silalahi, Direktur PT. Toba Pulp Lestari.

Hutan

"Harus kami perjuangan tanah kami ini. Tak mau aku anak dan cucuku mati sia-sia. Darimana lagi kami bisa menghidupi anak-anak kami," kata Rusmedia Lumbangaol, perempuan adat Desa Sipituhuta.

Hutan berperan penting bagi kehidupan warga adat baik untuk menopang ekonomi maupun kelestarian budaya.

"Jika hutan hilang, maka ekonomi dan budaya juga ikut menghilang," kata Roganda Simanjuntak.

Hutan lokasi areal konflik Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari, tanaman penuh eukaliptus di lokasi PT. TPL Sektor Tele, Humbang Hasundutan. [Barita News Lumbanbatu]

Menurut alumni sejarah Universitas Sumatera Utara ini, memang masih meneruskan budaya secara turun-temurun dalam mengelola hutan, ada ritual dan tradisi yang sakral.

Jandres Silalahi, Direktur PT. Toba Pulp Lestari mengatakan bahwa perusahaan itu sudah berdiri sejak tahun 2003 saat Presiden Megawati menjabat, pihaknya sangat menghormati adat isti-adat dan selalu koordinasi dengan pemuka adat setempat.

"TPL adalah objek vital karena bersifat Tbk, memiliki saham Internasional, mendapat seritfikai dan peroleh grand industri. Kami beroperasi berdasarkan izin HTI (Hutan Tanaman Industri, sesuai dengan undang undang," kata Jandres.

Menurut Roganda, TPL telah menebang pohon alam, namun dalam budaya masyarakat menebang pohon adalah suatu pantangan. Mayoritas laki-laki di desa Pandumaan-Sipituhuta bekerja sebagai petani kemenyan. Ada semacam mantra saat menderes getah kemenyan :“Parung simardagul-dagul sahali mamarung gok bahul-bahul gok ampang (sekali menderes karung pun penuh)”.

Rusmedia mengaku telah menyekolahkan anak-anaknya dari hasil getah kemenyan. Harganya bisa mencapai 400 ribu rupiah per kilogramnya.

“Kalau harus mati karena mempertahankan hutan ini, saya siap mati”, katanya sambil memetik kopi di kebun sebelah rumahnya.

Sementara itu PT. TPL klaim bahwa pihaknya merupakan salah satu perusahaan objek vital nasional berdasarkan undang undang.

“Kami mendapatkan sertifikasi serta pengawasan dari sejumlah stakeholder, dan tim pengawas independen”, kata Dedy Armawa, Koordinator Corporate Communication TPL wilayah Medan, Siantar dan Simalungun.

Peserta Aksi Jalan Kaki Tiba di Jakarta

"Ini sebagai reaksi atas kejadian bentrok yang menimpa Masyarakat Adat Natumingka. Saya posting ke media sosial untuk melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta," kata Togu Simorangkir dalam konferensi Pers Aliansi Gerak #TUTUP TPL yang diselenggarakan secara online pada 30 Juli 2021.

Aksi yang menamakan Tim 11 ini melakukan aksi jalan kaki untuk penyelamatan Danau Toba dan gerakan Tutup TPL sudah tiba di Jakarta. Aksi nekad ini dimotori oleh seorang aktivitas lingkungan Togu Simorangkir bersama dengan sepuluh orang lainnya dari Tugu Sisingamangaraja, Balige, Sumatera Utara menuju Jakarta sejak Juni 2021 lalu.

Beberapa di antaranya adalah perempuan bernama Anita Martha Hutagalung (54 tahun) dan Bumi Simorangkir (8 tahun), anak laki-laki Togu. Ikut juga Irwandi Sirait, seorang pria penyandang disabilitas.

Togu menyampaikan bahwa visi dari gerakan ini sebagai usaha untuk kesejahteraan generasi mendatang masyarakat di kawasan danau toba.

"Misinya sebenarnya untuk mendapatkan perhatian publik, dan kampanye bahwa Danau Toba tidak dalam keadaan baik-baik saja," kata Togu dalam konferensi pers.

Togu juga menyampaikan dalam usaha perjuangannya menutup PT. Toba Pulp Lestari yang merusak lingkungan kawasan danau toba agar orang-orang yang bekerja di dalam perusahaan tersebut untuk tidak khawatir akan masa depannya.
Menurutnya, saat ini telah banyak korban adu domba yang dilakukan oleh perusahaan termasuk intimidasi terhadap masyarakat adat.

"Melawan tanpa kekerasan," tutup Togu.

Oni dan teman-teman melakukan perjalanan dari Soposurung, Balige, makam Sisingamangaraja. Dirinya merasa yakin saat sebelum keberangkatan dilakukan semacam ritual adat seperti doa agar selamat selama perjalanan menuju Jakarta.

Ditanya soal Gerak Tutup TPL dan Tim 11 aksi jalan kaki dari Sumatera Utara ke Istana Presiden, Dedy Armaya, Koordinator Corporate Communication PT. TPL menyatakan bahwa pada prinsipnya pihak perusahaan tetap menghargai aspirasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat.

"Setahu saya, kita negara hukum, bukan negara adat," kata Dedy Armaya.

Pada 7 Agustus 2021, Presiden Jokowi Widodo dalam video yang diunggah Sekretariat Kepresidenan, presiden menerima langsung aktivis lingkungan Togu Simorangkir di istana negara. Jokowi berjanji akan menindaklanjuti kerusakan lingkungan yang ada di danau toba.

Presiden juga berjanji akan menyelesaikan konflik agraria antara perusahaan dengan masyarakat, kemudian akanmenindaklanjuti permintaan akan pengesahasan sejumlah wilayah adat.

"Ada 15 hutan adat akan selesai dalam bulan ini, Kira-kira 14 ribu hektar. Saya sudah sampaikan kepada Togu, yang 5 (wilayah adat) sudah ya…," katanya kepada peserta aksi di luar istana negara melalui video conference.

Penulis: Barita News Lumbanbatu

Penulis merupakan penulis lepas dengan focus isu lingkungan hidup, hutan dan masyarakat adat. Beliau juga adalah seorang pengacara publik.

[Reportase ini didukung Southeast Asia Rainforest Journalism Fund Pulitzer Center]

Load More