Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Senin, 05 Agustus 2024 | 22:31 WIB
Unjuk rasa Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat (AMMA) digelar di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Senin (5/8/2024). [Hengky Manalu/AMAN Tano Batak]

SuaraSumut.id - Sidang praperadilan penculikan lima orang Masyarakat Adat Sihaporas oleh oknum Polres Simalungun pada 22 Juli 2024 pukul 03.00 WIB silam, ditunda.

Penundaan dilakukan karena ketidakhadiran pihak termohon, Polres Simalungun, di Pengadilan Negeri Simalungun. Lantaran itu, sidang yang dipimpin Anggreana E Roria Sormin dijadwalkan ulang pada 12 Agustus 2024 mendatang.

"Pihak termohon sudah kami surati tetapi tidak menghadiri persidangan," ujar Anggreana.

Kuasa hukum masyarakat adat Sihaporas dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) Boy Raja Marpaung menjelaskan bahwa praperadilan bertujuan menguji proses penyidikan, penyelidikan, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan oleh Polres Simalungun.

Baca Juga: Jerit Hati Masyarakat Adat Sihaporas ke DPRD Simalungun Usai Heboh Penculikan: Selesaikan Masalah Tanah Kami!

"Belum masuk ke pokok perkara yang ditersangkakan kepada empat orang saudara kita yang ditahan," kata Marpaung.

Ia menambahkan bahwa mereka telah berjuang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya, namun Polres Simalungun tidak hadir untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka yang telah melakukan penyiksaan dan penculikan terhadap masyarakat adat yang tengah tertidur.

Unjuk rasa Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat (AMMA) digelar di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Senin (5/8/2024). [Hengky Manalu/AMAN Tano Batak]

Sementara di luar persidangan, ratusan massa yang terdiri dari organisasi mahasiswa dan masyarakat adat menggelar aksi dengan membentangkan spanduk dan berorasi di depan Pengadilan Negeri Simalungun.

Spanduk bertuliskan 'Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat kecam penculikan terhadap Masyarakat Adat, Copot Kapolres Simalungun, Tutup TPL.'

Doni Munte menyatakan bahwa tujuan aksi tersebut sebagai protes mahasiswa dan masyarakat adat terhadap tindakan penculikan oleh oknum Polres Simalungun.

Baca Juga: Komnas HAM Sesalkan Penangkapan Masyarakat Adat di Simalungun, Keluarkan Rekomendasi

"Aparat berperilaku keparat," ujarnya.

Dia menjelaskan, peristiwa penculikan pada 22 Juli 2024 pukul 03.00 WIB menjadi buntut dari aksi proses itu karena lima orang masyarakat adat Sihaporas diculik oleh oknum Polres Simalungun.

Saat kejadian, termasuk seorang ibu dan anak-anak berusia 10 tahun menjadi korban kekerasan dan dibentak.

"Seorang ibu juga diborgol dan dibentak, bahkan anak berumur 10 tahun pun dipiting para keparat itu," ungkap Doni Munte.

Perwakilan mahasiswa, Cavin Fernando Tampubolon, menambahkan bahwa Kapolres Simalungun telah mencatat sejarah baru sebagai kapolres yang melakukan pelanggaran HAM.

"Masih seumur jagung sudah bertingkah," ungkapnya.

Salah satu istri korban penculikan, Mersi Silalahi, menyatakan kekecewaan atas ketidakhadiran Polres Simalungun saat persidangan.

Istri Thomson Ambarita,Mersi Silalahi. [Hengky Manalu/AMAN Tano Batak]

"Kami kecewa dengan Polres Simalungun, saat PT TPL meminta melakukan penangkapan kepada kami masyarakat kecil jam 03.00 dini hari pun dilakukan, tetapi ketika Pengadilan yang meminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, tidak mau hadir. Dasar pengecut," ungkap Mersi.

Sekira jam 04.00 WIB, masyarakat adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan mulai mempersiapkan bekal yang akan dibawa ke Pengadilan Negeri Simalungun.

Kemudian, sekitar pukul 07.00 WIB, mereka berangkat menuju Polres Simalungun dengan menggunakan mobil pick-up untuk mengawal persidangan tersebut dan tiba sekitar pukul 10.00 WIB.

Load More