SuaraSumut.id - Aksi iklim harus bisa ditunjukkan dengan langkah nyata menjaga ekosistem, tidak hanya seremoni atau simbolik. Hal itu sejalan dalam penyelamatan ekosistem sebagai benteng terakhir menghadapi krisis iklim.
Hal ini mengemuka dalam peringatan Hari Bumi bertema "Climate Action Camp" di Dusun II Suka Mulia, Desa Marancar Godang, Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, pada Selasa 22 April 2025 kemarin. Kegiatan ini melibatkan 135 peserta dari berbagai elemen.
Direktur Green Justice Indonesia (GJI), Panut Hadisiswoyo mengatakan, aksi iklim harus dimaknai sebagai langkah nyata menjaga lingkungan.
"Kata aksi di sini bukan sekadar acara ramai-ramai seperti pesta, seremoni, atau sekadar berkemah dan mendirikan tenda," kata Panut dalam keterangan yang diterima.
Salah satu solusi paling efektif dalam menghadapi krisis iklim global adalah menjaga dan memulihkan ekosistem. Kenaikan suhu 1,5 derajat celsius dapat mengubah tatanan kehidupan.
"Begitu juga dengan ketersediaan air, pangan, kesehatan, hingga ancaman kepunahan spesies," ujarnya.
Panut menjelaskan, setiap tahun komunitas internasional selalu menggelar pertemuan seperti COP (Conference of Parties) membahas upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tahun ini akan dilaksanakan di Brazil.
"Ironisnya, acara bertema iklim tahun ini yang akan dilaksanakan di Brazil justru membuka lahan dengan menebang hutan untuk membangun lokasi kegiatan. Ini kontradiktif. Jangan sampai atas nama aksi iklim, kita malah membuka lahan baru dan menebang hutan," ungkapnya.
Diketahui, COP merupakan forum tertinggi dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebagai badan pembuat keputusan.
Negara-negara yang menjadi bagian dari UNFCCC bertemu membahas dan meninjau pelaksanaan konvensi, serta mengambil keputusan yang penting untuk mendorong aksi iklim global.
Emisi dan Peran Manusia
Panut juga mengajak peserta memahami bahwa emisi bisa berasal dari aktivitas sehari-hari, mulai dari kendaraan, pembakaran, sampah makanan, hingga rokok.
Jika tidak dikendalikan, emisi menyebabkan peningkatan suhu global yang berdampak pada gagal panen, hilangnya spesies penyerbuk, dan krisis ekosistem.
"Bahkan, perubahan kecil seperti durian yang ‘lagi track’ bisa menjadi tanda terganggunya ekosistem karena hilangnya satwa penyerbuk," ucapnya.
Biosfer dan Ekosistem Lokal
Berita Terkait
-
Medan Terjal Hambat Distribusi BBM di Aceh, Sumut, dan Sumbar, Pengamat Bilang Masih Wajar
-
Hentikan Produksi Tambang Emas, Agincourt Resources Serahkan Data ke KLH Pasca Banjir Sumatera
-
Tambang Emas Termasuk Tiga Klaster Pemicu Parahnya Banjir Sumatera Utara
-
Dampak Pemanasan Global terhadap Ekosistem Pesisir Indonesia
-
19 Desa Terisolasi, Tanggap Darurat Tapanuli Tengah Diperpanjang 14 Hari
Terpopuler
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 9 Sepatu Lokal Senyaman Skechers Ori, Harga Miring Kualitas Juara Berani Diadu
- Shio Paling Hoki pada 8-14 Desember 2025, Berkah Melimpah di Pekan Kedua!
- Sambut HUT BRI, Nikmati Diskon Gadget Baru dan Groceries Hingga Rp1,3 Juta
- 23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 7 Desember: Raih Pemain 115, Koin, dan 1.000 Rank Up
Pilihan
-
Penipuan Pencairan Dana Hibah SAL, BSI: Itu Hoaks
-
9 Mobil Bekas Paling Lega dan Nyaman untuk Mengantar dan Jemput Anak Sekolah
-
Belum Sebulan Diluncurkan, Penjualan Toyota Veloz Hybrid Tembus 700 Unit
-
Kekayaan dan Gaji Endipat Wijaya, Anggota DPR Nyinyir Donasi Warga untuk Sumatra
-
Emiten Adik Prabowo Bakal Pasang Jaringan Internet Sepanjang Rel KAI di Sumatra
Terkini
-
4 Sepatu Lari Lokal untuk Berbagai Medan: Nyaman, Tangguh
-
Sumatera Utara Siaga! Cuaca Ekstrem Mengintai hingga 15 Desember 2025
-
FiberStar Perkuat Respons Kemanusiaan di Sumatera Melalui Bantuan Logistik-Internet Darurat Starlink
-
2.100 Hektare Lahan Sawah di Aceh Barat Rusak Akibat Banjir Bandang
-
23 Sekolah di Nagan Raya Rusak Akibat Banjir, Kerugian Capai Puluhan Miliar