Andi Ahmad S
Minggu, 28 Desember 2025 | 21:40 WIB
Pengawas Lapangan PPK 1.5 BPJN Aceh, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Dedy Saputra [Dini Afrianti Efendi/Suara.com]
Baca 10 detik
  • Dedikasi Abdi Negara Dedy Saputra, pengawas lapangan Kementerian PU, menunjukkan dedikasi luar biasa dalam memulihkan akses jalan di Aceh Tamiang pascabanjir demi kelancaran distribusi logistik dan aktivitas pendidikan santri.

  • Kekuatan dari Trauma Masa Lalu Pengalaman kehilangan keluarga saat tsunami 2004 menjadi motivasi moral bagi Dedy untuk bekerja tanpa lelah membantu sesama korban bencana, meski harus rela meninggalkan keluarganya sendiri.

  • Komitmen Pemulihan Pemerintah Pemerintah melalui tim lapangan berkomitmen menyelesaikan pemulihan infrastruktur secara bertahap, memberikan harapan bagi masyarakat terdampak bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi masa sulit pascabencana.

SuaraSumut.id - Bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera-Aceh tidak hanya meninggalkan kerusakan bangunan dan insfrastruktur, tetapi juga luka psikologis yang bagi masyarakat terdampak.

Di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh proses pemulihan pascabencana terus berlangsung dengan melibatkan berbagai unsur.

Di balik alat berat dan tumpukan lumpur, ada sosok-sosok abdi negara yang memilih bertahan di lapangan, bekerja tanpa mengenal waktu demi memastikan roda kehidupan kembali bergerak.

Salah satunya adalah Dedy Saputra, Pengawas Lapangan PPK 1.5 BPJN Aceh, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum (PU).

Selama hampir satu bulan Dedy berada di lokasi terdampak bencana, terlibat langsung dalam proses pembersihan lumpur dan pemulihan akses jalan.

Bagi Dedy, kehadirannya di Aceh Tamiang bukan hanya menjalankan tugas, tetapi juga wujud tanggung jawab moral sebagai aparatur negara.

Ia mengatakan bahwa pemulihan akses jalan menjadi prioritas utama agar distribusi logistik dan sembako dapat kembali lancar, termasuk untuk mendukung aktivitas pendidikan di pesantren.

"Supaya pengiriman sembako bisa masuk dengan lancar, santri-santri (pesantren) bisa kembali belajar seperti biasa," kata Dedy, Sabtu 27 Desember 2025.

Selama berada di lokasi bencana, kondisi kerja jauh dari kata nyaman. Dedy dan tim harus berhadapan dengan medan berlumpur, cuaca yang tidak menentu.

Baca Juga: Telkomsel dan Kementerian Komdigi Perkuat Bantuan Kemanusiaan untuk Masyarakat Aceh

Jam istirahat pun sering kali tidak teratur. Namun, semua itu tidak menjadi alasan untuk mengendurkan semangatnya.

"Sebagai abdi negara tidak ada kata-kata capek. Tidurnya kadang enak, kadang tidak enak. Kadang-kadang kita tidur di bawah lumpur," ujarnya.

Yang membuat kisah Dedy semakin kuat adalah latar belakang pribadinya. Ia kehilangan orang tua dan dua orang adiknya pada tsunami Aceh 2004. Hingga kini, kenangan pahit itu masih membekas.

"Saya pernah jadi korban tsunami, sampai sekarang masih terbayang-bayang. Bapak ibu, dua orang adik dibawa tsunami, sampai sekarang belum ditemukan,” ucapnya dengan suara bergetar.

Namun alih-alih melemahkan, pengalaman tersebut justru menjadi sumber kekuatan. Dedy mengaku memahami betul perasaan warga yang kehilangan dan berada dalam situasi tidak menentu pascabencana.

“Itulah yang menggerakkan saya untuk membantu. Harus tempur di lapangan walaupun keluarga ditinggalkan sementara," ucapnya.

Load More