SuaraSumut.id - Masyarakat Sumatera Utara patut berbangga hati. Satu lagi tokoh berpengaruh dari daerah ini akan meraih gelar Pahlawan Nasional atas segala sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara.
Adalah Sutan Mohammad Amin Nasution, Gubernur Sumatera Utara dan Riau pertama pada masa pergolakan revolusi kemerdekaan. Pria kelahiran Lhoknga, Aceh Besar pada 22 Februari 1904 ini akan dianugerahi gelar Pahlawan nasional oleh pemerintah pada 10 November 2020.
Sejarawan Sumatera Utara, Dr Phil Ichwan Azhari mengatakan, penetapan SM Amin sebagai Pahlawan Nasional menjadi hadiah bagi masyarakat Sumatera Utara.
SM Amin menjadi pahlawan ke-12 asal Sumatera Utara yang berkontribusi penting dalam perjuangan bangsa Indonesia.
Baca Juga:Persija Setop Latihan, Tony Sucipto Ambil Lisensi Kepelatihan
"Penetapan ini merupakan hadiah tak ternilai bagi masyarakat Sumut, yang memperlihatkan tokoh tokoh Sumut berkontribusi penting dalam perjuangan bangsa Indonesia," kata Ichwan Azhari, Senin (9/11/2020).
SM Amin menjadi Gubernur Muda Sumatera Utara di masa pergolakan awal revolusi kemerdekaan sedang berlangsung di tanah air.
Ia harus meninggalkan profesinya sebagai pengacara dan menjadi gubernur untuk menjalankan pemerintahan di Provinsi Sumatera Utara SM Amin kemudian ditetapkan oleh Wapres Mohammad Hatta dan dilantik Mohammad Hasan di Pematangsiantar pada 14 April 1947, saat Kota Medan diduduki sekutu.
Pada 29 Juni 1947, pasukan sekutu menduduki Pematang Siantar. Perjuangan SM Amin pun dimulai. Dia sempat ditahan Belanda karena dianggap sebagai gubernur pemerintahan RI yang Ilegal.
"Ini merupakan peristiwa yang sangat heroik dimana dalam keadaan yang sangat genting pun Mr. S.M. Amin terus mengupayakan eksistensi Provinsi Sumatera Utara dengan melakukan perundingan," kata Ichwan.
Baca Juga:Polisi Kantongi Identitas Dua Buronan Pelaku Begal Sepeda Perwira Marinir
Lepas dari penahanan pasukan Belanda, sebab situasi yang tidak kondusif, SM Amin mengungsi ke Kutaradja, Aceh. Saat itu Aceh masih satu wilayah yang dipimpinnya. Dalam pengungsiannya di Aceh, SM Amin menjalankan pemerintahan sipil Provinsi Sumatera Utara.
Beberapa bulan menjalain pemerintahan dari pengungsian, SM Amin kembali ke Pematangsiantar. Pada Oktober 1947 Gubernur, ia kembali ditangkap Belanda dan dibawa serta dipenjara di Kota Medan.
"Tapi dalam tahanan Belanda dia menolak untuk mencopot jabatannya sebagai gubernur dan tetap menyatakan dia gubernur dari Republik yang sah," ungkap Ichwan.
Berbagai upaya terus dilakukan Belanda untuk menentang pemerintahan Republik Indonesia yang sah setelah diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, termasuk di Sumatera Utara.
Akhirnya dalam sebuah kesempatan, SM Amin berhasil melarikan diri dari tahanan Belanda, dia menyeberang ke Penang, Malaysia.
Dari Penang, SM Amin kembali ke Aceh dan menggerakkan perjuangan Republik Indonesia serta terus menjalankan eksistensi pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
"Saat itu Aceh dan Sumatera Utara masih satu pemerintahan. Baru setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tentang pembagian Provinsi Sumatera disahkan, SM Amin ditetapkan sebagai gubernur penuh umtuk Provinsi Sumatera Utara yang dilantik langsung oleh Presiden Soekarno yakni pada tanggal 18 juni 1948 di kutaradja," ungkapnya.
Lahirkan Kebijakan Penting Mempertahankan Pemerintahan RI
Ichwan mengatakan, selain perjuangan mempertahankan pemerintahan RI di Provinsi Sumatera Utara, SM Amin juga berkontribusi dalam melahirkan kebijakan penting guna menjaga eksistensi pemerintahan sipil.
Kebijakan penting yang dilakukan SM Amin yakni melantik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara pertama, bertempat di Tapak Tuan, Aceh, pada tanggal 16 Desember 1948. Kala itu SM Amin berperan sebagai ketua DPRD Sumut.
Melalui DPRD Sumatera Utara yang dipimpinnya, dikeluarkan sebuah kebijakan tentang pemberlakuan dan pencetakan uang dengan nama Uang Republik Indonesia Sumatera Utara (URIPSU). Uang dicetak dalam dua seri dengan nominal Rp250 pada tanggal 1 Maret 1949.
SM Amin diberhentikan sebagai gubernur saat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijalankan pada Desember 1949. Dia kemudian dialih tugaskan menjadi Komisaris Pemerintah untuk daerah Sumatera Utara pada tahun 1950.
"SM Amin juga berperan penting dalam memfasilitasi Presiden Soekarno dengan rakyat Aceh dalam pembelian pesawat pertama RI," kata Ichwan.
Pada Agustus 1952 saat terjadi goncangan kedaulatan RI dengan terjadinya sejumlah konflik baik di Aceh maupun di Sumut, SM Amin kembali dipanggil untuk mengabdi sebagai Gubernur Sumatera Utara untuk periode kedua.
Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan ini menyebut, pada tahun 1956 SM Amin mengakhiri pengabdiannya sebagai Gubernur Sumatera Utara dan dialihkan ke dalam Kabinet Menteri Dalam Negeri di Jakarta.
"Saat menjabat di Kementerian Dalam Negeri, SM Amin adalah salah satu orang yang mendorong dan menggagas Otonomi daerah pada waktu itu," jelas Ichwan Azhari.
Atas segala prestasi yang ditorehkannya di kancah politik, SM Amin diangkat sebagai Gubernur Pertama di Provinsi Riau dan dilantik pada 27 Februari 1958. Selama menjabat sebagai Gubernur Riau, SM Amin kembali membuat kebijakan penting.
Seperti membentuk Badan Penasehat Kepala Daerah Riau hingga mengatasi permasalahan terkait adanya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), merekrut pegawai pemerintahan dari putra putri daerah, membentuk Panitia Perguruan Tinggi dan Bea Siswa, membentuk Panitia Bank Pembangunan Daerah, membentuk Panitia Perancangan Pembangunan Daerah, dan menyusun konsepsi tentang Perusahaan Pelayanan Daerah.
"Ada begitu banyak kebijakan unggulan beliau selama menjabat sebagai gubernur baik di Sumut maupun Riau.Hingga akhirnya pada tahun 1960, SM Amin diberhentikan dan ditarik kembali bertugas di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta," ungkapnya.
Anti Kolonialis
Prestasi yang ditorehkan oleh Sutan Mohammad Amin Nasution dalam kancah politik mempertahankan kemerdekaan dan pemerintahan yang sah pada era perjuangan revolusi Indonesia tidak terlepas dari latar belakang SM Amin muda.
SM Amin pernah menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) tahun 1912, sekolah STOVIA Batavia tahun 1919, sekolah MULO Batavia tahun 1921, sekolah AMS Yogyakarta 1924, dan sekolah tinggi hukum Rechtschoogeschool tahun 1927.
Saat bersekolah di MULO Batavia, ia cukup aktif dalam berbagai organisasi pergerakan seperti Jong Sumatteranen Bond, aktif menulis tentang kenegaraan, nasion Sumatera, kesadaran nasionalisme, serta kritik terhadap sistem pemerintahan kolonialisme Belanda.
"Saat di sekolah tinggi hukum itulah dia SM Amin mencapai titik tertinggi aktivitas dan semangat pergerakan nasionalismenya. Amin ikut serta menjadi penggerak dari nasionalisme kedaerahan menjadi nasionalisme nasional," jelas Ichwan.
Berbagai pergerakan pemuda, dijelaskan Ichwan, turut diisi oleh SM Amin muda. Dia terlibat dalam pelaksanaan Kongres pemuda atau yang dikenal dengan Sumpah Pemuda yang digelar pada 28 Oktober 1928.
Sebagai pemuda dari Sumatera, SM Amin menjadi salah satu perwakilan dari Jong Sumatranen Bond bersama Muhammad Yamin dan AK Gani dan organisasi kedaerahan lainnya dalam membentuk Badan Fusi yang bertujuan melaksanakan konferensi pembubaran organisasi-organisasi yang masih berdasarkan Insularisme atau kedaerahan.
Konferensi Badan Fusi pada awal 1930 menghasilkan keputusan akan mendirikan perkumpulan baru yang bersifat nasionalisme Indonesia dengan membentuk Komisi Besar Indonesia Muda (KBIM). SM Amin pun menjadi anggota KBIM bersama 8 anggota lainnya.
Sesudah menyelesaikan sekolah tinggi hukum pada tahun 1933, Amin memilih mengabdi ke daerah yaitu Sumatera Utara dan menjadi advokat di Kutaradja.
Dalam dunia penegakan hukum, Amin banyak menangani berbagai permasalahan rakyat khususnya di Kutaradja. Ia dikenal sebagai pengacara yang bertanggung jawab, jujur, berani membela kebenaran, arif, dan bijaksana.
"Orangtuanya tidak sepakat SM Amin menjadi advokat. Mereka menginginkan dia bekerja sebagai pegawai Pemerintahan Hindia Belanda karena akan memiliki status sosial yang tinggi dan mendapatkan kesejahteraan finansial," kata Ichwan.
Ia juga pernah berkarir sebagai hakim di Sigli, menjadi direktur sekaligus guru sekolah menengah atau Syu Gakko, anggota Badan Perlindungan Tanah Air, serta menjabat sebagai anggota DPRD Aceh pada masa pendudukan Jepang.
Amin juga tampil sebagai salah satu tokoh intelektual Indonesia dalam bidang hukum. Sejak tahun 1954 hingga akhir hayatnya, dia sangat produktif menulis dan menghasilkan banyak buku tentang hukum dan pandangan kritis terhadap keadaan Indonesia pada saat itu.
Setidaknya terdapat 12 buku yang telah diterbitkan dan dicetak ulang pada saat ini, dan ditemukan banyak arsip-arsip tulisannya yang belum sempat diterbitkan.
Sutan Mohammad Amin Nasution, Gubernur Sumatera Utara pertama Provinsi Sumatera Utara itu wafat pada 16 April 1993.
"SM Amin telah meninggalkan semangat pergerakan pemuda, mozaik sejarah perjuangan, dan pemikiran kritis bagi generasi bangsa Indonesia sampai kapan pun," pungkasnya.
Kontributor : Muhlis