SuaraSumut.id - Vonis bebas terhadap terdakwa pemerkosa anak di Aceh, berinisial DP dibatalkan Mahkamah Agung. DP yang juga merupakan paman korban pun dihukum 200 bulan penjara.
Vonis 200 bulan penjara tersebut diputuskan oleh Mahkamah Agung lewat putusan kasasi dengan Nomor 8 K/Ag/JN/2021.
"Vonis bebas Mahkamah Syar'iyah Aceh dibatalkan Mahkamah Agung, terdakwa dihukum 200 bulan penjara," kata Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh Rosmawardani, melansir Antara, Selasa (22/9/2021).
Diketahui, terdakwa divonis bersalah oleh majelis hakim Mahkamah Syari'ah Jantho dengan hukuman 200 bulan penjara atau 16 tahun enam bulan.
Baca Juga:Konsep Racing Blood of Yamaha, MX-King 150 Dapat Livery Khusus Desain Balap
Pada tingkat banding terdakwa divonis bebas oleh Mahkamah Syar'iyah Provinsi Aceh dengan nomor perkara 7/JN/2021/MS Aceh tertanggal 20 Mei 2021.
Atas putusan Mahkamah Syar'iyah Aceh tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Aceh Besar melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Dalam putusan kasasi di MA, hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang memiliki hubungan mahram dengannya, sebagaimana diatur Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014.
MA memutuskan menghukum terdakwa dengan uqubat penjara selama 200 bulan, dan dikurangi masa penahanan yang telah dijalani.
"Hukumannya di atas hukuman maksimal versi Undang-Undang Perlindungan Anak, yakni maksimal 15 tahun. Lalu apa yang harus kita pertanyakan lagi dengan kewenangan menangani perkara anak di Mahkamah Syar'iyah," ujarnya.
Baca Juga:Sadis! Dewa Habisi Nyawa Istri Resmi di Hadapan istri Siri
Kasus ini sebelumnya juga sempat menjadi perbincangan hangat dan kehebohan di tengah masyarakat Aceh lantaran adanya vonis bebas dari Mahkamah Syariah Aceh.
Rosmawardani menjelaskan, bahwa lembaga peradilan mulai dari Mahkamah Syar'iyah tingkat kabupaten/kota, tingkat banding serta Mahkamah Agung adalah satu kesatuan yang tidak bisa dikotomi.
"Saat putusan tingkat kasasi berbeda dengan tingkat banding atau tingkat pertama, hal itu merupakan salah satu bagian dari kebebasan hakim, dan dibenarkan oleh undang-undang," tukasnya.