SuaraSumut.id - Kisah kelam prahara politik Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) yang mulanya pecah di Jakarta, seketika merembet ke Sumatera Utara (Sumut). Terjadi penumpasan yang berlangsung sengit, mencekam, dan pertumpahan darah sesama anak bangsa di desa-desa di Sumut.
Dalam buku The Contours of Mass Violence in Indonesia tahun 1965-1968 menyebutkan, bahwa Sumut merupakan daerah yang sangat kuat pendukung PKI. Bukan hanya kuat dukungan dari basis massa petani dan buruh, PKI juga menikmati dukungan dari eselon atas, termasuk Gubernur Sumut Ulung Sitepu dan sebagian besar birokrasi provinsi.
Bahkan PKI mengembangkan pengaruh yang kuat atas pers, organisasi pemuda dan sekolah. Pada tahun 1965, PKI di Sumut memiliki 120.000 anggota, menjadikannya cabang PKI terbesar di luar Jawa. Namun demikian, gagalnya pergerakan partai pimpinan DN Aidit di Jakarta dalam peristiwa gempa politik G30S PKI, membuat hegemoni partai seketika runtuh hingga tak tersisa dihancurkan lawan politik.
Di Sumut sendiri, kabar berita Gerakan 30 September sampai di Medan pada 1 Oktober 1965. Saat itu, para pejabat daerah tidak tahu apa-apa tentang makna peristiwa di Jakarta.
Baca Juga:Khawatir Rusak Ekosistem, KKP Panggil Pertamina Terkait Tumpahan Minyak di Aceh
G30S PKI memberikan kesempatan bagi Angkatan Darat untuk bergerak melawan PKI. Malam itu Konsul Amerika di Medan mengirim telegram ke kedutaan di Jakarta meminta izin untuk memberikan "informasi yang tidak sensitif" kepada Mayor Jenderal A.Y Mokoginta, Komando Antar Daerah 1 Sumatera" untuk "membantu elemen Anti-Komunis di sini membuat keputusan yang tepat.
Pada menit berikutnya, perwira senior militer di Komando Antar Daerah 1 bersama dengan Wakil Komandan Kostrad Brigjen Kemal Idris, telah menyimpulkan bahwa G30S PKI adalah plot kiri. Menteri Luar Negeri Suhandrio, yang kebetulan berada di Medan pada saat itu, mengatur tentang memobilisasi kekuatan anti-komunis.
Pada sore hari Komando Aksi Pemuda Sumatera Utara dipelopori oleh Pemuda Pancasila, menggelar unjuk rasa massal di pusat kota Medan untuk menentang PKI. Pada 5 Oktober, Komandan Teritorium Sumatra Mayjend A.Y Mokoginta berpidato di Medan mengutuk Gerakan 30 September sebagai "kontra-revolusioner".
Dinyatakan gerakan 30 September adalah alat kekuatan asing yang ingin menghancurkan revolusi Indonesia. Sehubungan dengan pernyataan tersebut Komando Aksi Pemuda menggelar unjuk rasa kedua di Medan, kali ini menuntut agar PKI dibubarkan.
Aksi massa berubah menjadi kekerasan, memecahkan jendela dan menjarah markas PKI provinsi. Situasi di Sumut semakin rumit, dikarenakan PKI dan afiliasinya memiliki banyak pengikut, termasuk dari Gubernur Sumut Ulung Sitepu, meskipun bukan anggota Partai, merupakan simpatisan kiri.
Baca Juga:Rajin Olahraga dan Jaga Pola Makan, Ini 9 Potret Body Goals Salmafina Sunan
Desas-desus beredar bahwa anggota PKI berkumpul di bagian selatan jalur perkebunan, di wilayah Karo, di barat Medan, dan di dekat Sibolga di pantai barat untuk mempersiapkan serangan.
Pada 13 Oktober, sebuah kabel diplomatik AS memperingatkan bahwa "pertempuran diperkirakan terjadi"; itu belum dimulai." Faktor kuncinya adalah bahwa Angkatan Darat terbagi tajam menurut garis kelembagaan dan ideologis.
Selama minggu kedua Oktober, satuan-satuan TNI Angkatan Darat dari Jawa yang telah ditempatkan di Sumut dalam rangka konfrontasi diperintahkan untuk pulang, meninggalkan kekosongan di daerah-daerah kunci di selatan Medan.
Khawatir dia tidak dalam posisi yang cukup kuat untuk melakukan gerakan anti-komunis, Mokoginta bergerak dengan hati-hati untuk menunjuk perwira baru ke pos-pos kunci, membersihkan pasukan pertahanan sipil PKI yang kuat, dan memberikan senjata kepada pekerja perkebunan yang anti-komunis.
![Tugu Pahlawan Ampera di Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. [Suara.com/M.Aribowo]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/09/30/17078-tugu-pahlawan-ampera-di-desa-kolam-kecamatan-percut-sei-tuan-deli-serdang.jpg)
Ia dan jajarannya juga mendorong Komando Aksi Pemuda dan elemen-elemen anti-komunis lainnya di Medan untuk meningkatkan militansi mereka sendiri. Salah satu sasarannya adalah Konsulat RRT, yang menolak mengibarkan bendera setengah tiang seperti yang diminta oleh Angkatan Darat.
Dua pemuda tewas dihajar PKI di Kampung Kolam