"Jadi ada orang-orang eropa, ada orang-orang timur asing kelas kedua, baru orang-orang pribumi," ucapnya.
Di zaman kemerdekaan perayaan Imlek juga dirayakan di berbagai daerah termasuk di Medan.
"Pada masa itu ada beberapa pahlawan beretnis Tionghoa mereka ikut juga dalam perjuangan merebut kemerdekaan," tutur Aziz.
Arus Politik Membuat Imlek Sempat Dilarang
Baca Juga:5 Karakter Orang Sukses, Mudah Ditiru Kaum Milenial untuk Raih Keberhasilan!
Memasuki masa orde baru, perayaan Imlek mulai mendapat pelarangan oleh pemerintah.
"Kita gak tahu apakah dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tapi jelas pelarangan itu ada," ujarnya.
Pelarangan perayaan Imlek pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, menurut Aziz dipengaruhi oleh arus politik pada masa itu.
"Saya kira (pelarangan) karena arus politik. Kita ketahui pada saat itu isunya ada peristiwa 65, kemudian kita tahu Tiongkok kan ideologinya sama dengan peristiwa 65," bebernya.
Ditengarai perlakuan diskriminatif oleh rezim orde baru menjerumuskan masyarakat Tionghoa menjadi apolitis dan asosial. Perlakuan diskriminatif menimbulkan trauma sehingga masyarakat Tionghoa menjadi menutup diri.
Baca Juga:Apa Itu Lunar New Year? Ini Penyebab Perayaan Imlek Berubah Setiap Tahunnya
Kondisi diskriminasi ini, kata Aziz, berakhir setelah almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut pelarangan tersebut.
Presiden keempat ini juga menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional yang hingga kini dapat dirayakan dengan gegap gempita.
"Dari Imlek kita tahu ternyata mereka saudara kita juga punya kesenian bernama Barongsai, dan itu menambah (keragaman) Kota Medan yang mempunyai banyak jenis bunga, jadi ada Tionghoa, ada Karo, ada Melayu, dan ada etnis etnis lainnya," tandasnya.
Kontributor : M. Aribowo