Pemerintah Didesak Kaji Ulang Proyek PLTA Batang Toru, Selama 2 Tahun Renggut 17 Jiwa

17 jiwa berasal dari pekerja proyek dan juga masyarakat setempat.

Suhardiman
Minggu, 20 November 2022 | 15:36 WIB
Pemerintah Didesak Kaji Ulang Proyek PLTA Batang Toru, Selama 2 Tahun Renggut 17 Jiwa
ilustrasi PLTA Batang Toru. [Antara]

SuaraSumut.id - Pemerintah didesak untuk kaji ulang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara (Sumut).

Pasalnya, proyek tersebut menelan korban jiwa. Teranyar pada 10 November 2022 , seorang tenaga kerja asing (TKA) asal Cina tewas tertimpa reruntuhan batu saat mengebor lubang peledak di terowongan proyek.

"Kejadian ini terjadi hanya selang tiga bulan sejak tewasnya satu TKA akibat kejadian yang sama. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, proyek PLTA Batang Toru telah menelan korban sebanyak 17 jiwa," kata Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati dalam keterangan tertulis, Minggu (20/11/2022).

Annisa mengatakan, 17 jiwa berasal dari pekerja proyek dan juga masyarakat setempat. Pada kasus terakhir, PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) selaku pihak yang bertanggungjwab terhadap proyek PLTA Batang Toru bahkan belum memberikan keterangan jelas terkait kejadian tersebut.

Baca Juga:Rezeki Tetap Mengalir Deras setelah Berhijab, Kartika Putri Raup Cuan dari Mana Saja?

"Padahal, kejadian sudah berlangsung lebih dari sepekan," ucap Annisa.

Menurut Annisa, dengan berbagai rentetan peristiwa yang terjadi di area proyek pembangunan PLTA Batang Toru itu, meminta pihak-pihak yang berwenang segera mengusut tuntas kasus tewasnya TKA di wilayah kerja PLTA itu.

"Begitupula dengan kasus-kasus sebelumnya, harus diungkap penyebab tewasnya pekerja," jelasnya.

Annisa menegaskan, jika ditemukan pelanggaran, penegak hukum harus mengungkapkan hasil temuannya kepada publik secara transparan dan menindak tegas pihak yang bertanggungjawab dengan serius.

"Kita tentu tidak ingin kejadian ini terus-menerus berulang, korban tewas tanpa adanya pengungkapan kasus dan siapa yang bertanggungjawab dibaliknya," ujar Annisa.

Baca Juga:Fakta-fakta Suami di Sumatera Utara Mutilasi Istri, Direbus dan Niat Memakannya?

Master dari International Management of Resources and Environment (IMRE) TU Bergakademie Freiberg Germany itu menyebut, sejak awal wilayah lokasi pembangunan PLTA Batang Toru sudah bermasalah dari aspek dampak lingkungan, karena lokasinya yang berada di wilayah habitat orang utan dan terletak di garis patahan gempa yang rawan longsor.

Kondisi ini tentu berdampak secara sosial dan ekonomi kepada masyarakat setempat yang berada di hulu dan hilir sungai. Sejak 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menyarankan PT NHSE melakukan revisi Amdal.

"Kabarnya revisi sudah selesai dilakukan, tapi bagaimana hasilnya? kita belum pernah mendengar," tutur Annisa.

"Saya berharap audit KLHK juga dapat diakses secara terbuka oleh publik, karena ini sangat penting diketahui bagi masyarakat terdampak langsung oleh proyek," sambungnya.

Annisa membeberkan proyek PLTA Batang Toru telah dibeli oleh State Development and Investment Corporation (SDIC) China senilai 277 juta dollar AS, setelah Bank Cina mengundurkan diri.

Akhir tahun ini, Cina akan menjadi tuan rumah Convention on Biological Diversity, hal ini seharusnya menjadi perhatian utama bagi negara tersebut untuk membuktikan komitmennya terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati dan dampak investasinya di Indonesia.

Apalagi, saat ini pemerintah Indonesia memimpin Presidensi G20 Indonesia yang menekankan komitmen pembangunan berkelanjutan yang melindungi lingkungan dan hak-hak masyarakat.

Oleh sebab itu, kata Annisa, pemerintah sudah semestinya mengkaji ulang proyek-proyek yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.

"Semua pihak terkait harus berpikir ulang apakah proyek PLTA tersebut lebih besar mudarat daripada manfaatnya untuk masyarakat," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini