SuaraSumut.id - Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, menjadi salah satu destinasi wisata populer khususnya saat Hari Raya Idulfitri 2024.
"Kebanyakan wisatawan singgah untuk beribadah maupun menjadikan tempat berkumpul bersama keluarga," kata Kepala UPTD Masjid Raya Baiturrahman, Saifan Nur, melansir Antara, Sabtu (13/4/2024).
Setiap lebaran jumlah pengunjung ke Masjid Raya Baiturrahman bisa mencapai 2.500 orang per harinya.
"Tahun ini perkiraannya akan sama karena banyak pelancong yang dari berbagai daerah maupun pinggiran Banda Aceh yang datang," ujarnya.
Yuni warga asal Makassar mengatakan Masjid Raya Baiturrahman menjadi lokasi wisata yang tidak boleh dilewatkan ketika berliburan ke Banda Aceh.
"Rasanya tidak afdal kalau belum kesini (red-Masjid Raya Baiturrahman), ada sebuah kebanggaan kalau sudah menginjakan kaki di sini," ungkapnya.
Hal senada dikatakan Saniah, warga Meulaboh. Dirinya mengaku hampir setiap menghabiskan waktu bersama dengan keluarga di masjid ini.
"Di sini suasananya adem, dan sangat cocok untuk mengisi liburan bersama keluarga," katanya.
Diketahui, Masjid Baiturrahman adalah masjid bersejarah yang berada di Kota Banda Aceh. Masjid ini dibangun pada tahun 1879 dan merupakan simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme rakyat Aceh.
Masjid ini menjadi landmark Kota Banda Aceh sejak era Kesultanan Aceh dan selamat dari amukan bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004 silam.
Sejarah Raya Baiturrahman
Awalnya masjid ini dibangun pada tahun 1612 di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Ada juga yang mengatakan, bahwa masjid yang asli dibangun lebih awal pada tahun 1292 oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah.
Pada saat itu status masjid ini sebagai masjid kerajaan yang menampilkan atap jerami berlapis-lapis yang merupakan fitur khas arsitektur Aceh.
Saat kolonial Hindia Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada tanggal 10 April 1873, masyarakat Aceh menggunakan bangunan masjid yang asli sebagai benteng pertempuran, dan menyerang pasukan Kerajaan Belanda dari dalam masjid.
Pasukan Kerajaan Belanda membalas dengan menembakkan suar ke atap jerami masjid, yang menyebabkan masjid terbakar. Ibadah salat dan lainnya saat itu direlokasi ke Masjid Baiturrahim Ulee Lheue.
Jenderal Van Swieten pun menjanjikan pemimpin lokal bahwa dia akan membangun kembali masjid dan menciptakan tempat yang hangat untuk permintaan maaf.