SuaraSumut.id - Sebanyak 508 imigran etnis Rohingya hingga kini masih ditampung di berbagai wilayah di Provinsi Aceh. Kondisi ini menambah daftar panjang permasalahan pengungsi asing di wilayah paling barat Indonesia tersebut.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi Aceh, Novianto Sulastono, mengatakan bahwa para pengungsi Rohingya tersebut kini tersebar di empat titik lokasi penampungan. Beberapa lokasi berada di Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Timur, dan Kota Lhokseumawe.
“Jumlah imigran etnis Rohingya yang masih berada di Aceh sebanyak 508 orang. Mereka ditempatkan di dua titik di Kabupaten Pidie, serta masing-masing satu titik di Aceh Timur dan Lhokseumawe,” ujar Novianto dikutip dari Antara, Jumat (25/4/2025).
Di Kota Lhokseumawe, sebanyak 94 orang pengungsi Rohingya ditampung di gedung bekas Kantor Imigrasi. Sementara itu, di Lapangan Seuneubok Rawang, Kabupaten Aceh Timur, terdapat 309 orang yang ditampung. Di Kabupaten Pidie, penampungan tersebar di Desa Kulee dengan 48 orang, dan Desa Mina Raya, Kecamatan Padang Tiji, dengan 57 orang.
Meski telah ditampung, keberadaan imigran Rohingya di Aceh memunculkan berbagai persoalan sosial. Salah satu masalah utama adalah tindak pelecehan antarimigran, serta aksi pelarian diri yang diduga menggunakan jalur ilegal menuju Malaysia melalui jaringan penyelundup manusia.
"Beberapa imigran yang kabur diduga telah menggunakan jasa calo untuk masuk ke Malaysia. Ini harus menjadi perhatian bersama," kata Novianto.
Selain itu, penolakan dari warga lokal atas keberadaan para pengungsi Rohingya juga menjadi tantangan besar. Sejumlah aksi unjuk rasa dan protes dilakukan masyarakat setempat karena merasa resah dengan kehadiran para imigran, bahkan muncul kecemburuan sosial karena perhatian yang dinilai lebih besar kepada pengungsi dibanding warga lokal.
Tak hanya di lapangan, secara administratif, belum adanya alokasi anggaran khusus untuk menangani pengungsi luar negeri di tingkat daerah juga menjadi hambatan serius. Hal ini membuat kantor imigrasi kesulitan dalam merespons kondisi darurat dan kebutuhan dasar para imigran.
“Diperlukan anggaran khusus untuk kantor imigrasi yang wilayah kerjanya berpotensi menjadi pintu masuk imigran, termasuk Aceh,” ujarnya.
Sebagai solusi, Imigrasi Aceh juga mendorong UNHCR agar mempercepat proses relokasi pengungsi Rohingya ke negara ketiga. Selain itu, mereka juga mengusulkan adanya evaluasi terhadap Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri, agar lebih adaptif terhadap kondisi terkini.
Meningkatnya Gelombang Rohingya dan Tantangan Regional
Data UNHCR menunjukkan bahwa gelombang pengungsi Rohingya ke Asia Tenggara meningkat dalam dua tahun terakhir. Mereka melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar dan kondisi buruk di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Aceh menjadi salah satu titik pendaratan utama karena letaknya yang strategis di jalur migrasi laut.
Menurut laporan Human Rights Watch, lebih dari 3.500 imigran Rohingya menyeberangi laut pada 2023, dengan ratusan di antaranya mendarat di wilayah Indonesia, terutama Aceh. Tren ini diperkirakan terus meningkat jika tidak ada solusi permanen dari lembaga internasional maupun regional.
Pemerintah pusat pun diminta ikut turun tangan lebih serius, bukan hanya menyerahkan tanggung jawab ke pemerintah daerah. Apalagi Aceh telah berkali-kali menjadi lokasi kedatangan imigran Rohingya di Indonesia, yang menambah beban logistik, sosial, dan keamanan daerah.
Masalah pengungsi Rohingya di Aceh tidak bisa diselesaikan oleh satu instansi saja. Dibutuhkan sinergi lintas sektor, mulai dari imigrasi, pemerintah daerah, Kementerian Luar Negeri, hingga kerja sama erat dengan UNHCR dan negara-negara sahabat.