Momentum Hari Buruh 2025 dan Kondisi Buruh yang Semakin Terhimpit Efisiensi

Hingga kini, hak-hak buruh di Indonesia termasuk di Sumatera Utara (Sumut), untuk dapat hidup layak sebagai buruh, belum terwujud.

Suhardiman
Kamis, 01 Mei 2025 | 10:29 WIB
Momentum Hari Buruh 2025 dan Kondisi Buruh yang Semakin Terhimpit Efisiensi
Ilustrasi hari buruh. [Surya]

"Jadi seandainya pun pemerintah melakukan kebijakan memang serba sulit, padahal di satu sisi kewajiban pemerintah melindungi tenaga kerja Indonesia dari berbagai persoalan-persoalan yang selama ini rentan, ini problem dari sisi pemerintah daerah," ucapnya.

"Dari sisi persoalan perburuhan memang mengalami persoalan yang cukup pahit ya, belakangan ini. Situasinya tidak begitu menguntungkan," tambahnya.

Menurut Elfenda, pemerintah tetap bisa melakukan upaya-upaya untuk melindungi tenaga kerja karena Indonesia juga sebagai pasar menjual produk-produk yang pengusaha sudah ciptakan atau sudah produksi.

"Ini tetap menjadi posisi tawar pemerintah untuk melakukan, melindungi nasib buruh di Indonesia. Jadi substansi, rohnya itu adalah tugas pemerintah melindungi berbagai persoalan yang menimpa para buruh di Indonesia," ungkapnya.

Bonus Demografi

Lebih lanjut Elfenda menjelaskan, Indonesia yang akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030-2045 harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan ekonomi bangsa.

"Jadi kalau dari sisi bonus demografi secara teori itu memang sebenarnya ini adalah momen kita meraih bonus," cetusnya.

Tapi kalau momen bonus demografi itu sekadar hanya jumlah, Elfenda menuturkan lalu kemudian tidak disikapi atau tidak dipersiapkan dengan baik itu akan jadi lewat begitu saja.

"Bukan malah menguntungkan tapi kemudian bisa tidak dimanfaatkan sebaiknya, harusnya jadi bonus bisa ke arah negatif," jelasnya.

Elfenda menerangkan pemerintah mesti piawai dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sehingga diharapkan akan berdampak nyata kepada buruh.

"Sebenarnya kalau memang pemerintah menyiapkan karpet merah dengan undang-undang yang dibuat, artinya harus memangkas berbagai birokrasi untuk prosedur perizinan, itu jauh lebih progresif Vietnam ketimbang Indonesia," ungkapnya.

Namun, belum lagi proses perizinan yang bikin ribet, Elfenda menyampaikan investor malah dihadapkan dengan adanya Ormas preman yang melakukan pungli.

"Kemudian keamanan berinvestasi tidak ada itu di luar negeri orang berinvestasi dikompasi (dipalak), kemudian membuat bangunannya ditongkrongin, tidak pernah terdengar itu di luar. Justru investasi mudah di luar, ini yang susah," ujarnya.

Elfenda juga melihat fenomena banyaknya warga negara Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri, karena faktor kurangnya penghargaan dari pemerintah.

"Toh banyak juga tenaga kerja kita di luar itu dapat diandalkan dan dipekerjakan mahal tapi kan justru di sini penghargaan itu kurang. Itu yang kemudian menjadi evaluasi bagi pengelola negeri ini," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini