SuaraSumut.id - Jagat maya kembali dihebohkan dengan beredarnya sebuah video syur yang dikaitkan dengan seorang wanita yang disebut-sebut sebagai juru bicara (jubir) perusahaan tambang di Morowali, Sulawesi Tengah.
Video tersebut menampilkan sang wanita bersama seorang pria Warga Negara Asing (WNA) asal China.
Meski kebenaran identitas pemeran masih simpang siur, fenomena perburuan link video ini justru lebih menarik untuk ditelisik.
Mengapa publik begitu penasaran, dan apa bahaya di balik tren "memburu link" yang marak di media sosial? Bagaimana video ini bisa viral?
Berdasarkan penelusuran, rekaman berdurasi lebih dari 7 menit itu pertama kali beredar di grup Facebook dan pesan berantai WhatsApp.
Tidak butuh waktu lama, narasi "Jubir Tambang Morowali vs Pria China" pun melekat dan mendorong warganet untuk mencari link aslinya.
Fenomena ini sebagai "efek labeling" — ketika sebuah isu dibubuhi identitas tertentu yang spesifik, maka rasa penasaran publik akan meningkat drastis.
Identitas yang dikaitkan dengan jabatan prestisius seperti jubir tambang, ditambah unsur WNA, menjadi pemicu utama ledakan pencarian.
Identitas Pemeran Masih Misteri
Hingga kini, belum ada konfirmasi resmi terkait siapa sosok dalam video tersebut. Pihak kepolisian masih menyelidiki penyebar awal rekaman dan berjanji menindaklanjuti kasus ini sesuai hukum yang berlaku.
Namun, terlepas dari benar atau tidaknya tudingan bahwa pemeran adalah jubir sebuah perusahaan tambang, fenomena ini menegaskan satu hal: warganet mudah sekali terjebak dalam perburuan konten negatif.
Risiko Hukum: Bisa Terjerat Pidana
Bagi sebagian orang, berburu link mungkin terlihat sepele. Namun, ada konsekuensi hukum yang sangat serius.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Pornografi menegaskan, siapa pun yang dengan sengaja menyebarkan, mendistribusikan, atau bahkan menyimpan konten asusila bisa dijerat pidana.
Ancaman hukuman maksimal mencapai 6 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar. Artinya, meski hanya meneruskan link di grup WhatsApp atau media sosial, risiko jeratan hukum tetap membayangi.