Sayangnya, kata Panut, pemerintah masih lebih memilih industri instan yang cepat menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD).
"Padahal masyarakat juga butuh kesejahteraan jangka panjang, bukan hanya melihat sumber daya alam dikeruk habis-habisan," tegasnya.
Ia menyebut regulasi sebenarnya sudah ada, salah satunya lewat skema perhutanan sosial dengan Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) ataupun Rencana Usaha Perhutanan Sosial (RUPS) yang mencakup pengelolaan HHBK.
Panut menilai, skema ini bisa menjadi jalan keluar untuk mendorong industri HHBK naik kelas dan memberi manfaat nyata.
"Kalau dikelola dengan baik, HHBK bisa jadi strategi pengelolaan hutan yang lestari sekaligus sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat," katanya.
Pengelolaan HHBK dan Kemandirian Petani
Direktur Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LESOS), Purnomo menjelaskan panjang-lebar perjalanan lembaganya sejak awal 1990-an bergerak di bidang lingkungan hingga fokus pada penguatan ekonomi masyarakat tepi hutan melalui produk-produk organik dan hasil hutan non-kayu.
Dikatakannya, LESOS berdiri sebagai bagian dari upaya di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, sebuah desa kecil di lereng Gunung Penanggungan (1.653 mdpl), yang sudah lama dikenal secara internasional karena komitmennya pada lingkungan. Sejak 2006, lembaga ini mulai mendorong produk organik, baik hasil budidaya maupun hasil hutan.
"Dari hasil hutan ini cukup menarik sebenarnya, karena bisa memperkuat masyarakat tepi hutan secara ekonomi. Tapi di sana banyak problem yang dihadapi," ujarnya.
Dijelaskan Purnomo, sudah terjadi penurunan daya dukung lahan yang diduga akibat praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat, karena keterbatasan keterampilan, sering merambah lebih jauh ke dalam hutan lindung, bahkan hingga ke puncak Gunung Kerinci.
"Alhamdulillah ada potensi pengelolaan hutan non kayu, misalnya kopi. Itu bisa menghentikan perambahan. Tapi di sisi lain, penggunaan racun kimia yang berlebihan merusak tanah dan menimbulkan banyak penyakit tanaman," ucapnya.
Menurut Purnomo dampaknya begitu jelas, seperti tanah longsor, banjir di daerah yang sebelumnya tidak pernah tergenang, serta erosi yang menggerus nutrisi lahan.
Purnomo mencontohkan daerah Sumbawa yang dulunya tidak pernah banjir, namun berubah setelah ada program pemerintah yang memaksa pembukaan lahan secara besar-besaran.
Keterbatasan Akses
Selain kerusakan lingkungan, problem utama yang dihadapi masyarakat tepi hutan adalah keterbatasan akses: dari permodalan, pasar, hingga informasi. Meski kini jaringan internet dan televisi sudah menjangkau desa-desa, informasi spesifik mengenai komoditas bernilai ekonomi masih sulit didapatkan oleh petani.