- Masyarakat adat menuntut penutupan PT TPL tanpa mendapat respons dari Gubernur Sumut.
- Aktivis menilai konflik lahan dan dampak ekologis terus terjadi akibat kelanjutan operasi PT TPL.
- Sejumlah organisasi memperingatkan potensi aksi lebih besar jika pemerintah tetap tidak merespons.
SuaraSumut.id - Lebih dari sepekan masyarakat adat menggelar unjuk rasa di kantor Gubernur Sumatera Utara meminta untuk menutup PT Toba Pulp Lestari. Namun, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution belum juga merespons tuntuan masyarakat adat tersebut.
"Kami menyayangkan Gubernur Sumut berbicara soal keberlanjutan PT TPL. Kami tidak mendengar gubernur membicarakan nasib masyarakat yang selama puluhan tahun menanggung dampak ekologi, kriminalisasi, dan perampasan ruang hidup," kata Ketua Sekber Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis Pastor Walden Sitanggang OFM Cap, dalam keterangan yang diterima, kemarin.
Walden mengatakan sampai hari ini tidak ada jadwal pertemuan maupun kunjungan lapangan (ke Sihaporas) seperti yang dijanjikan Sekda Sumut saat aksi tersebut.
Ketidakjelasan ini menunjukkan absennya itikad baik yang sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Menurut, Rocky Pasaribu dari KSPPM, Gubernur Sumut seharunya mengeluarkan rekomendasi resmi untuk menutup PT TPL.
Langkah itu jauh lebih substansial dibandingkan sekadar kunjungan lapangan atau retorika administratif lainnya. Setidaknya 500 warga telah menjadi korban pelanggaran HAM yang berhubungan dengan konflik atas konsesi perusahaan tersebut. Sebanyak 13 bencana ekologis terjadi akibat aktivitas TPL.
Bahkan parahnya selama ini belum ada penetapan kawasan hutan khususnya yang berkaitan dengan konsesi TPL.
"Yang dilakukan masih dalam tahap penunjukkan, sehingga hal ini mengindikasikan bahwa konsesi tersebut berada di wilayah yang ilegal," ujarnya.
Secara sosial, ekonomi, dan ekologis, kata Rocky, masyarakat akan jauh lebih sejahtera apabila wilayah-wilayah tersebut dikembalikan kepada pengelolaan masyarakat adat dan petani.
"Proses hukum yang berjalan selama ini tidak cukup untuk menyelesaikan kasus besar seperti ini, karena akar masalahnya terletak pada kelanjutan operasi TPL itu sendiri," ucapnya.
Dirinya menegaskan jika hingga akhir bulan November ini tidak ada respon dari Gubernur Sumut, masyarakat dan sejumlah lembaga akan mempertimbangkan langkah-langkah lanjutan.
Jhontoni Tarihoran dari AMAN Tano Batak, mengatakan dengan belum adanya respon dari Gubernur Sumut membuat keberadaan masyarakat berada dalam kondisi terancam, baik karena intensitas konflik lahan maupun tekanan aparat di lapangan.
Pihaknya telah banyak menyampaikan aspirasi kepada berbagai instansi terkait bahkan Kemen-LHK RI yang saat itu masih dipimpin oleh Siti Nurbaya, namun tanggapan yang diterima sangat minim.
"Jika pemerintah terus abai, sangat mungkin terjadi aksi susulan yang melibatkan massa jauh lebih besar," cetusnya.
Sementara itu, Lamsiang dari Horas Bangso Batak, mengatakan bahwa fakta-fakta pelanggaran di lapangan yang sudah diketahui oleh khalayak umum sudah sangat jelas dan tidak membutuhkan pembuktian berulang.
"Dalam situasi konflik seperti ini, operasi perusahaan seharusnya dihentikan sementara hingga ada solusi yang adil, bukan justru membiarkan proses kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat terus terjadi bahkan seolah dibiarkan," jelasnya.