SuaraSumut.id - Konflik agraria masih menjadi sorotan yang sangat penting. Pasalnya, konflik agraria tidak pernah selesai, bahkan jumlahnya kian menumpuk.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut menilai, persoalan konflik agraria di Sumut ibarat benang kusut yang sulit diurai. Jika pemerintah memiliki kemampuan, perlahan konflik ini bisa diselesaikan.
Demikian dikatakan Amin Multazam, Koordinator KontraS Sumut dalam memperingati Hari Tani Nasional (HTN) setiap tanggal 24 September.
"Konflik agraria semakin menumpuk, sedangkan di sisi lain belum ada pola penyelesaian yang efektif. Pendekatan yang dilakukan masih konvensional, cenderung menyampingkan hak rakyat kecil dan pro pada pemodal-pemodal besar," kata Amin dalam keterangannya tertulisnya, Kamis (24/9/2020).
Saat menjabat sebagai Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi menyampaikan komitmennya untuk menyelesaikan konflik agraria dalam jangka waktu setahun.
Setelah dua tahun persoalan konflik agraria masih mengkhawatirkan. Janji Edy menuntaskan konflik dalam waktu satu tahun ibarat jauh panggang dari api.
Dari hasil monitoring sepanjang tahun 2020, KontraS mencatat 30 titik konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara. Sedangkan pada tahun sebelumnya terjadi 23 titik konflik.
"Situasi ini bukan hanya mengakibatkan terampasnya ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat, namun kerap mengakibatkan korban luka hingga kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya," cetusnya.
Dari kajian KontraS, tumpang tindih di lahan HGU PTPN II disebabkan beberapa faktor. Pertama, HGU aktif PTPN II sempat ditelantarkan belasan tahun, sehingga dikelola oleh masyarakat.
Baca Juga: Pilkada Pematangsiantar Resmi Diikuti Satu Pasangan Calon
Kedua, HGU justru terbit saat tanah telah dikuasai masyarakat pascareformasi. Ketiga, HGU berada diatas tanah yang memiliki ikatan sejarah dengan masyarakat, hasil penggusiran paksa saat rezim orde baru.
Oleh karena itu, penyelesaian konflik diatas lahan PTPN II membutuhkan formulasi yang jelas. Tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat hilir persoalan. KontraS berharap, sejumlah titik konflik dapat diminimalisir.
"Apa yang dialami teman-teman BPRPI di Langkat baru-baru ini bisa jadi contoh, sekalipun pandemi tapi okupasi diatas tanah adat yang sudah mereka kelola dan perjuangkan puluhan tahun justru terus dilakukan," pungkasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
Terkini
-
Angka Korban Hilang Turun Jadi 160 Jiwa, Tapanuli Tengah Masih Ground Zero Pencarian
-
Pertamina Percepat Pemulihan Layanan Energi di Aceh, Sumut, dan Sumbar
-
Gerindra Sumut-Yayasan Hati Emas Indonesia Kirim 10 Ton Bantuan Sembako ke Tapteng
-
Kades di Taput Tersangka Korupsi Dana Desa Ditahan
-
5 Sepatu Lari Wanita Paling Nyaman dan Modis, Cocok untuk Millennial