Suhardiman
Minggu, 10 Desember 2023 | 23:15 WIB
Komisioner Komnas HAM Saurlin P Siagian saat diwawancarai usai acara "Climate Action Day 2023" di Gelanggang Mahasiswa USU, Minggu (10/12/2023). [Suara.com/M.Aribowo]

Pemerhati masyarakat adat dan peraih penghargaan Magsasay Award 2017 kategori community, Abdon Nababan menjelaskan, korban krisis iklim tidak hanya ada di Indonesia melainkan di seluruh dunia.

"Sumatera Utara (Sumut), jika diseriusi bisa terhindar dari krisis iklim, tidak menjadi korban, tetapi justru tampil dengan solusi. Karena Sumut memiliki tiga sumber daya yang akan mengalami krisis secara global tersebut," katanya.

Direktur Yayasan KKSP Maman Natawijaya didampingi pemerhati masyarakat adat Abdon Nababan dan direktur Green Justice Indonesia Dana Prima Tarigan saat diwawancarai usai acara Climate Action Day 2023 . [Suara.com]

"Secara kebudayaan, suku-suku kita beragam dan punya identitas budaya yang sangat spesifik. Karena perjalanan yang historik selama ratusan hingga ribuan tahun, mereka sudah punya sistem pengetahuan dan praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Kalau ini kita konsolidasikan sebagai modal sosial," sambungnya.

Menurutnya, setiap kampung memiliki sumber daya yang sangat kaya untuk melahirkan energi terbarukan. Oleh karena itu, ia mendorong lahirnya kampung solusi iklim dan anak-anak muda harus mau pulang ke kampungnya dengan pengetahuan yang dia dapat.

"Menurut saya sumber dari perubahan iklim yang tidak terkendali ini adalah kota-kota yang terindusterilisasi terlalu tinggi, sementara desa-desa kita ditinggalkan. Kampung bisa menjadi ujung tombak pembangunan nasional," katanya.

Abdon menilai banyak kalangan intelektual tidak melihat kearifan lokal sebagai solusi, padahal sudah tidak tersedia pilihan lain.

"Mungkin saja ada pilihan solusi dari Amerika atau di China, tetapi tidak dikuasai dan justru pilihan itu yang diambil. Makanya banyak lahan-lahan yang kemudian dikuasai oleh asing. Tanah air kita, energi terbarukan kita dikuasai lewat investasi. Itu yang saya khawatirkan," cetusnya.

Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, kegiatan ini juga dilakukan di Thailand, Filipina dan beberapa negara lain dengan tema berbeda namun tidak tidak serentak di hari yang sama.

"Kita berharap perubahan itu kita mulai dari anak-anak muda karena anak-anak muda ini yang terancam hidupnya karena praktik politik, pengelolaan investasi yang sangat rakus, yang tidak berorientasi HAM dan keadilan antar generasi, kemudian merusak lingkungan," ungkapnya.

Dikatakan Dana, anak-anak muda di desa, di komunitas masyarakat adat, maupun yang di perkotaan sudah menjadi korban dari perubahan iklim.

"Jadi kita ingin ada pengetahuan yang disampaikan kepada masyarakat kepada anak-anak muda dan kita berharap dengan cara-cara kreatif seperti ini. Berbuat sekecil apapun itu tentu akan sangat berharga," kata Dana.

Direktur Yayasan KKSP Maman Natawijaya mengatakan, kegiatan ini merupakan gagasan yang ditujukan untuk perubahan terutama di kalangan anak-anak muda. Tujuannya agar anak-anak muda dapat melakukan perubahan terkait dengan krisis iklim dengan cara mereka sendiri secara kreatif.

Kegiatan hari ini adalah rangkaian dari beberapa kegiatan sebelumnya, yakni secara bersama-melihat apa saja tantangan terkait dengan lingkungan hidup di wilayah masing-masing di Medan, Deli Serdang dan Binjai.

"Jadi bagaimana mereka melihat lingkungan sebagai bagian dari hak hidup. Lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia," jelasnya.

Perubahan iklim, dapat dilihat dengan kacamata sederhana, misalnya soal kebersihan, polusi udara, dan juga kebiasaan-kebiasaan masyarakat terkait dengan membuang sampah dan lain sebagainya.

Load More