SuaraSumut.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut banyak masyarakat adat tidak mendapatkan perhatian serius pemerintah dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Demikian disampaikan Komisioner Komnas HAM Saurlin P Siagian kepada wartawan termasuk SuaraSumut.id usai acara "Climate Action Day 2023" di Gelanggang Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), Minggu (10/12/2023).
"Komnas HAM menemukan banyak masyarakat adat yang tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah karena fokus pada pembangunan infrastruktur dan percepatan pembangunan gedung-gedung, jalan, dan bandara. Tapi kita lupa di sana ada banyak masyarakat adat," katanya.
"Menurut saya idealnya IKN harus merayakan eksistensi masyarakat adat. Jika itu terjadi maka akan menjadi sesuatu yang menarik bagi kita," sambungnya.
Menurut Saurlin, IKN tidak akan menarik jika hanya menghadirkan gedung-gedung seperti Jakarta atau New York. IKN semestinya bisa menghadirkan kekhasan budaya dan lingkungan. Hal tersebut bisa terjadi jika ada penghargaan terhadap masyarakat adat.
"Kita sudah merekomendasikan bahwa belasan masyarakat adat di sana mendapatkan haknya, dilindungi, diperhatikan dan dilestarikan," tegasnya.
Dirinya menegaskan bahwa perubahan iklim menjadi tantangan paling besar pasca Covid-19. Hal ini pun menjadi tanggung jawab semua pihak.
"Pasca Covid 19 krisis yang paling berat dihadapi dunia dan Indonesia sebenarnya adalah perubahan iklim. Jadi ini tantangan paling besar yang ada pada abad ini dan harus menjadi tanggung jawab semua pihak," katanya..
Saurlin mengatakan korban dari krisis iklim sudah berjatuhan di mana-mana. Mulai dari petani sudah kehilangan arah menentukan musim tanam hingga nelayan tradisional sudah kehilangan kemampuan untuk menavigasi sumber-sumber ikan.
"Banyak juga pulau-pulau kecil sudah tenggelam, hutan sudah banyak yang hilang dan persebaran jenis penyakit baru. Hal ini akan sangat memengaruhi situasi di Indonesia pada khususnya," cetusnya.
Perubahan iklim ini, kata Saurlin, menjadi masalah terbesar yang dialami seluruh umat manusia di dunia. Dirinya menggambarkan kondisi ini seperti truk yang tak memiliki rem di jalan menurun.
"Komnas HAM sudah menyiapkan suatu mekanisme dan instrumen untuk memastikan korban iklim juga bisa mengadukan nasibnya untuk ke lembaga negara seperti Komnas HAM, dan untuk diurus oleh negara nantinya," katanya.
Dijelaskannya, Komnas HAM saat ini sudah menerima banyak pengaduan dari korban krisis iklim. Namun, pihaknya belum memiliki instrumen dan mekanisme terhadap pengaduan dari korban krisis iklim.
"Kita belum punya instrumen yang memadai untuk merespons-nya. Oleh karena itu, kita menyiapkan suatu mekanisme dan instrumen untuk memastikan korban iklim bisa mengadukan nasibnya ke lembaga negara seperti Komnas HAM dan untuk diurus oleh negara nantinya," jelasnya.
Bisa terhindar dari Krisis Iklim
Pemerhati masyarakat adat dan peraih penghargaan Magsasay Award 2017 kategori community, Abdon Nababan menjelaskan, korban krisis iklim tidak hanya ada di Indonesia melainkan di seluruh dunia.
"Sumatera Utara (Sumut), jika diseriusi bisa terhindar dari krisis iklim, tidak menjadi korban, tetapi justru tampil dengan solusi. Karena Sumut memiliki tiga sumber daya yang akan mengalami krisis secara global tersebut," katanya.
"Secara kebudayaan, suku-suku kita beragam dan punya identitas budaya yang sangat spesifik. Karena perjalanan yang historik selama ratusan hingga ribuan tahun, mereka sudah punya sistem pengetahuan dan praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Kalau ini kita konsolidasikan sebagai modal sosial," sambungnya.
Menurutnya, setiap kampung memiliki sumber daya yang sangat kaya untuk melahirkan energi terbarukan. Oleh karena itu, ia mendorong lahirnya kampung solusi iklim dan anak-anak muda harus mau pulang ke kampungnya dengan pengetahuan yang dia dapat.
"Menurut saya sumber dari perubahan iklim yang tidak terkendali ini adalah kota-kota yang terindusterilisasi terlalu tinggi, sementara desa-desa kita ditinggalkan. Kampung bisa menjadi ujung tombak pembangunan nasional," katanya.
Abdon menilai banyak kalangan intelektual tidak melihat kearifan lokal sebagai solusi, padahal sudah tidak tersedia pilihan lain.
"Mungkin saja ada pilihan solusi dari Amerika atau di China, tetapi tidak dikuasai dan justru pilihan itu yang diambil. Makanya banyak lahan-lahan yang kemudian dikuasai oleh asing. Tanah air kita, energi terbarukan kita dikuasai lewat investasi. Itu yang saya khawatirkan," cetusnya.
Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, kegiatan ini juga dilakukan di Thailand, Filipina dan beberapa negara lain dengan tema berbeda namun tidak tidak serentak di hari yang sama.
"Kita berharap perubahan itu kita mulai dari anak-anak muda karena anak-anak muda ini yang terancam hidupnya karena praktik politik, pengelolaan investasi yang sangat rakus, yang tidak berorientasi HAM dan keadilan antar generasi, kemudian merusak lingkungan," ungkapnya.
Dikatakan Dana, anak-anak muda di desa, di komunitas masyarakat adat, maupun yang di perkotaan sudah menjadi korban dari perubahan iklim.
"Jadi kita ingin ada pengetahuan yang disampaikan kepada masyarakat kepada anak-anak muda dan kita berharap dengan cara-cara kreatif seperti ini. Berbuat sekecil apapun itu tentu akan sangat berharga," kata Dana.
Direktur Yayasan KKSP Maman Natawijaya mengatakan, kegiatan ini merupakan gagasan yang ditujukan untuk perubahan terutama di kalangan anak-anak muda. Tujuannya agar anak-anak muda dapat melakukan perubahan terkait dengan krisis iklim dengan cara mereka sendiri secara kreatif.
Kegiatan hari ini adalah rangkaian dari beberapa kegiatan sebelumnya, yakni secara bersama-melihat apa saja tantangan terkait dengan lingkungan hidup di wilayah masing-masing di Medan, Deli Serdang dan Binjai.
"Jadi bagaimana mereka melihat lingkungan sebagai bagian dari hak hidup. Lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia," jelasnya.
Perubahan iklim, dapat dilihat dengan kacamata sederhana, misalnya soal kebersihan, polusi udara, dan juga kebiasaan-kebiasaan masyarakat terkait dengan membuang sampah dan lain sebagainya.
Dalam kaitan ini, Yayasan KKSP bekerja sama dengan Green Justice Indonesia menggagas kegiatan agar cakupannya menjadi lebih luas dengan mengundang dan melibatkan lebih banyak anak-anak muda dapat bersuara dan didengar pengambil kebijakan.
Kontributor : M. Aribowo
Berita Terkait
-
Alarm Hari HAM: FSGI Catat Lonjakan Tajam Kekerasan di Sekolah Sepanjang 2025
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Roy Keane Ledek Mason Mount, Masuk sebagai Pemain Pengganti tapi Main Tak Karuan
-
Frustrasi Ruben Amorim Usai MU Gagal Kalahkan West Ham, Terancam Zona Eropa
-
Waskita Karya Kembali Raih Nilai Kontrak Baru Rp1,84 Triliun, Garap Kawasan DPR di IKN
Terpopuler
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 8 Bedak Translucent untuk Usia 50-an, Wajah Jadi Flawless dan Natural
- Sepatu On Cloud Ori Berapa Harganya? Cek 5 Rekomendasi Paling Empuk buat Harian
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 5 Sepatu Lari Rp300 Ribuan di Sports Station, Promo Akhir Tahun
Pilihan
-
Hasil SEA Games 2025: Mutiara Ayu Pahlawan, Indonesia Siap Hajar Thailand di Final
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
Terkini
-
Sejumlah Wilayah di Aceh Belum Teraliri Listrik Sejak Bencana November 2025
-
2 Relawan Tewas Kecelakaan Saat Antar Bantuan Air Bersih untuk Korban Bencana Aceh Timur
-
3 Sepatu Converse Rp 300 Ribuan di Sports Station, Diskon hingga 50 Persen
-
Raffi Ahmad Beri Bantuan Rp 5 Miliar untuk Penanganan Bencana di Sumut
-
11.010 Hektare Sawah di Aceh Timur Terendam Banjir, Kerugian Rp 88 Miliar