Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Rabu, 26 Maret 2025 | 15:12 WIB
SMA negeri 4 Medan. [dok Kabarmedan]

Berdasarkan regulasi seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 44 Tahun 2012, pungutan resmi diperbolehkan hanya jika memenuhi ketentuan tertentu dan disepakati secara transparan.

Namun, pungli terjadi ketika pungutan tersebut tidak sesuai aturan, seperti memaksa siswa membayar dengan nominal tertentu tanpa dasar hukum atau tanpa bukti penerimaan yang sah.

Contohnya meliputi uang pendaftaran yang berlebihan, uang seragam wajib dari sekolah, uang study tour, hingga uang perpisahan yang tidak sukarela.

Kasus pungli di sekolah sering kali berdalih sebagai "sumbangan sukarela," padahal sumbangan seharusnya tidak mengikat dan tidak ditentukan jumlahnya, sesuai Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Realitasnya, banyak sekolah menetapkan nominal tertentu dan mengancam siswa dengan sanksi tidak bisa ikut ujian atau menahan ijazah jika tidak membayar.

Hal ini mencerminkan dilema pendidikan di Indonesia, di mana dana operasional seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kadang dianggap kurang mencukupi, sehingga oknum sekolah mencari "jalan pintas" melalui pungli.

Dampaknya cukup serius, beban finansial bagi orang tua, ketidakadilan bagi siswa dari keluarga kurang mampu, dan rusaknya integritas dunia pendidikan.

Upaya pemberantasan pungli telah dilakukan, misalnya melalui Satgas Saber Pungli yang dibentuk berdasarkan Perpres No. 87 Tahun 2016, serta kanal aduan masyarakat.

Namun, praktik ini masih berlangsung karena kurangnya pengawasan ketat, rendahnya kesadaran hukum, dan budaya permisif terhadap pungutan tidak resmi.

Kontributor : M. Aribowo

Load More