Guido Luncurkan Lagu Ro Jo Hamu, Kisah Perjuangan Warga Sihaporas Membela Tanah Adat

Lagu ini dipersembahkan untuk Tano Batak, sebutan untuk manusia, alam dan budaya orang Batak di Sumut.

Suhardiman
Rabu, 25 September 2024 | 10:59 WIB
Guido Luncurkan Lagu Ro Jo Hamu, Kisah Perjuangan Warga Sihaporas Membela Tanah Adat
Guido Virdaus Hutagalung. [Ist]

SuaraSumut.id - Lagu Sayur Kol sempat viral tahun 2018 setelah dinyanyikan seorang anak kecil yang usianya masih di bawah lima tahun. Vokal anak itu belum sempurna untuk melafalkan semua huruf. Namun si bocah viral karena membawakan lagu ringan, riang dan renyah.

Lagu Sayur Kol ditulis dan dipopulerkan grup band Pematangsiantar, Punxgoaran. Sayur Kol berkisah tentang perjumpaan seorang lelaki dengan seorang ibu saat mereka berteduh kehujanan kawasan Danau Toba, tepatnya di Siborongborong, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Mereka lalu saling bertanya tentang kekerabatan khas Batak, atau martarombo mengenai marga atau klan sayu sama lainnya.

Berikut lirik lagu Sayur Kol

Waktu abang pergi ke Siborongborong
Datang hujan yang amat deraslah
Terkejut abang terheran-heran
Sebab abang belum pernah ke sana

Untung datang namboru Panjaitan
Martarombo kami di jalan
Di ajaknya aku ke rumah dia

Makan daging a****g dengan sayur kol
Sayur kol, sayur kol
Makan daging a****g dengan sayur kol
Sayur kol, sayur kol
Makan daging a****g dengan sayur kol

Setelah enam tahun berlalu, kini personel Punxgoaran meluncurkan single baru. Salah satu personelnya, Guido Virdaus Hutagalung kini memulai karier solo dengan merilis lagu berjudul Ro Jo Hamu. Lagu ini dipersembahkan untuk Tano Batak, sebutan untuk manusia, alam dan budaya orang Batak di Sumut.

"Karya ini merupakan dedikasi untuk setiap isi Tano Batak; manusia, alam dan budayanya. Semuanya hidup membaur dan berdampingan karena yang paling utama adalah kepedulian serta perdamaian," tulisnya dalam narasi lagu Ro Jo Hamu yang diluncurkan di akun YouTube, Minggu 22 Septemebr 2024.

Guido mengaku baru membuat akun video streaming YouTube Guido Hutagalung dapat di klik Di Sini.  Lagu ini diciptakan Osen Hutasoit dengan komposor/aransement Raden Saragi dan Leo Sinaga.

Single Ro Jo Hamu (Datanglah)

Lagu Ro Jo Hamu yang dalam bahasa Batak Toba dapat diartikan "Datanglah". Lagu ini semacam merekam problematik orang Batak tertindas di kawasan Danau Toba. Sudah lebih dari setahun ia bersama Osen Hutasoit menangkap jeritan pilu dan duka lara orang-orang Batak yang menderita.

Sejak saat itu muncul niatnya menciptakan lagu, menangkap kesulitan warga pedesaan, masyarakat kelas bawah. Puncaknya pada 25 Juli 2024, ketika seorang sahabat mengajak Guido bepergian ke Sihaporas, satu desa di sebelah timur laut Danau Toba.

Tepatnya ke lokasi gubuk perjuangan atau barak masyarakat adat dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di Kecamatan Pematangsiamanik, Kabupaten Simalungun.

Di areal konflik tenurial/hutan masyarakat Sihaporas dengan pemerintah dan PT TPL ia mendapati warga dalam kondisi serba ketakutan. Anak-anak maupun orang tua, terutama kalangan ibu-ibu tampak berjaga-jaga. Sedangkan laki-laki jarang.

Guido dan rekannya berkunjung ke gubuk warga di lahan Buttu Pangaturan Sihaporas, tempat yang tiga hari sebelum puluhan personel Polres Simalungun diketahui datang bersama Satpam PT TPL datang menangkap warga. Lima orang pegiat tanah adat ditangkap dan diangkut ke Polres Simalungun.

Pada 14 Agustus 2024, majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun memvonis dua tahun penjara terhadap Sorbatua Siallagan (65). Ia juga didenda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Sorbatua didakwa menguasai tanah PT TPL dan membakar hutan. Letak Sihaporas dan Dolok Parmonangan, berjarak kurang lebih 15-20 kilometer. Nuansa ketakutan dan serba mencekam ini diceritakan Guido kepada Osen Hutasoit.

Guido Virdaus Hutagalung bersama masyarakat. [Ist]
Guido Virdaus Hutagalung bersama masyarakat. [Ist]


Ritual Adat dan Lingkungan

Syuting video klip lagu tersebut dilakukan di Sihaporas, sebuah desa di Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun.Tampak kawasan perladangan, hutan dan rumah adat Toba berupa rumah pangung bertulis Lumban Ambarita Sihaporas. Terlihat juga tugu Tuan Sihaporas Ompu Mamontang Laut Ambarita.

Terdapat tiga kampung di Desa Sihaporas, yaitu Lumban Ambarita Sihaporas, Sihaporas Bolon dan Sihaporas Aek Batu. Berdasar data tahun 2020, terdapat 120 kepala keluarga dengan jumlah warga 288 jiwa laki-laki dan 330 perempuan. Penduduk Sihaporas terbilang homogen, keluarga klan/marga Ambarita. Umumnya kepala keluarga marga Ambarita, atau istrinya boru Ambarita, atau berenya Ambarita.

Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Mangitua Ambarita mengatakan, tanah nenek moyangnya sudah ditempati sejak kurang lebih 220 tahun silam.  Martua Boni Raja alias Ompu Mamontang Laut Ambarita menyeberangi Danau Toba dari Ambarita di Pulau Samosir ke arah timur laut menuju Dolok Mauli, dekat Sipolha.

Dari sana Ompu Mamontang Laut Ambarita 'mamukka huta' membuka perkampungan yang dinamai Sihaporas. Hingga kini, turun-temurun 11 generasi. Mereka mengelola tanah adat leluhur. Tanah Sihaporas bahkan, telah diakui penjajah Belanda. Terbukti dengan terbitnya peta Enclave 1916 (29 tahun sebelum Indonesia merdeka). 

Mereka bukan penggarap tanah. Terdapat 6 orang tetua desa Sihaporas juga menjadi pejuang Kemerdekaan RI. Misalnya, Yahya Ambarita mendapat piagam legiun Veteran RI dari Menteri Pertahanan RI LB Moerdani tahun 1989.  

Lalu Firman Ambarita (Ompu Dimma), Ranto Ambarita (Ompu Agus), pasangan suami istri, Gabuk Ambarita (Ompu Rumondang) dan Viktoria Br Bakkar (Ompu Rumondang boru).

Pengolahan tanah Sihaporas memang dilakukan secara adat. Setiap kegiatan, mulai membuka lahan sampai panen, dilakukan dan diwarnai tradisi adat yang kental. 

Seperti membuka lahan disebut 'manoto', menggelar doa untuk meminta berkat dan permisi kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Mahakuasa), juga semacam pemberitahuan kepada alam semesta, bahwa akan dimulai menebang pohon.

Saat hendak bercocok tanam padi darat (huma) dilakukan tradisi 'manjuluk'.  Saat padi bunting, dilaksanakan tradisi 'manganjab', yaitu ritual bersama-sama di perhumaan. Dilaksanakan doa mohon kesuburan dan keberhasilan panen. 

Acara menganjap juga diwarnai tradisi 'marsibak', mengolah bahan makanan berbahan jagung, dicampur dedaunan untuk permentasi.  Rangkaian selanjutnya, 'robu juma' (pantang berladang) selama tiga hari, ‘robu harangan’ (pantang ke hutan) tiga hari, dan pada hari ke-7 dilakukan manangsang robu (buka pantang) yang diisi kegiatan doa, lanjut berburu ke hutan.

Saat panen, dikenal dilakukan 'sipahalima'. Pemotongan bulir padi, didahului mengumpulkan tujuh gulungan buliran padi, lalu disimpan di bubungan gubuk. Setelah selesai panen, diadakan pesta dan doa bersama.

Selain itu, warga juga hidup dengan tradisi ritual doa adat. Terdapat tujuh macam doa, mulai skala besar yang diikuti musik tradisional gondang, sembelih persembahan atau sesaji, hingga penggunaan air suci yang bersumber dari celah batu.

Penggunaan 'rudang' atau bahan-bahan bebungaan dari perladangan dan hutan. Tradisi terbesar adalah ‘Patarias Debata Mulajadi Nabolon’, yakni pesta adat denagn durasi non-stop tiga hari dua malam, menggunakan alat musik gondang Toba. Enam ritual lainnya adalah Raga-raga Nabolak Parsialonan, Mombang Boru SIpiru Sundut, Manganjab, Ulaon Habonaran, Pangulu Balang Parotrot dan Manjuluk. Semua ritual memliki nilai-nilai kearifan lokal yang bergantung pada alam sekitar, dan hutan tropis.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini