Salat Saat Bencana, Bolehkah Menggunakan Pakaian Kotor atau Najis?

Dalam fikih Islam, shalat tetap wajib ditegakkan dalam keadaan apa pun.

Suhardiman
Kamis, 04 Desember 2025 | 15:29 WIB
Salat Saat Bencana, Bolehkah Menggunakan Pakaian Kotor atau Najis?
Ilustrasi salat. [ist]
Baca 10 detik
  • Salat tetap wajib saat bencana, namun keringanan (rukhsah) diberikan jika pakaian kotor non-najis.
  • Salat dengan pakaian najis umumnya tidak sah, kecuali kondisi darurat memaksa tanpa ada pilihan lain.
  • Kaidah fikih darurat dan kemudahan menjadi dasar keringanan, sehingga shalat tidak gugur walau sulit.

SuaraSumut.id - Ketika bencana terjadi, seperti banjir, longsor, gempa, atau kebakaran, banyak warga kehilangan akses terhadap pakaian bersih, air yang layak, atau tempat ibadah yang memadai.

Dalam kondisi seperti ini, muncul pertanyaan penting: apakah salat tetap sah jika pakaian kotor atau bahkan terkena najis?

Dalam fikih Islam, shalat tetap wajib ditegakkan dalam keadaan apa pun. Namun syariat juga memberikan keringanan (rukhsah) bagi mereka yang menghadapi kondisi ekstrem. Berikut penjelasan lengkapnya beserta dalil dan kaidah syar’inya.

1. Hukum Salat Menggunakan Pakaian Kotor (Non-Najis)

Islam tidak mensyaratkan pakaian harus bersih secara tampilan, tetapi harus suci dari najis. Kotoran seperti debu, tanah, lumpur, percikan kotoran jalan, pakaian kusut atau berbau, tidak membatalkan salat selama tidak ada najis yang menempel.

Bahkan pada kondisi normal, memakai pakaian kotor tetap sah. Hanya saja, dianjurkan untuk memakai pakaian bersih sebagai bentuk adab dan kesempurnaan ibadah.

Dalam kondisi bencana, tidak ada tuntutan untuk berlebih-lebihan mencari pakaian bersih. Salat boleh tetap dilakukan dengan pakaian yang ada.

2. Hukum Salat Menggunakan Pakaian Najis

Secara hukum asal, salat dengan pakaian najis tidak sah, sebagaimana syarat sah salat adalah suci dari najis pada badan, pakaian dan tempat salat.

Namun, dalam kondisi tidak memungkinkan, seperti banjir besar dan semua pakaian terkontaminasi, tidak tersedia air atau cara untuk mencuci, tidak ada pakaian gant, pakaian terendam lumpur najis dan tidak bisa ditinggalkan, maka berlaku hukum rukhsah (keringanan).

Jika masih mungkin disucikan maka wajib disucikan dahulu. Jika tidak mungkin disucikan atau tidak ada pakaian lain.

Salat tetap wajib dilakukan, dan salatnya sah, berdasarkan prinsip darurat.

Jika najis diketahui di tengah salat

- Jika bisa dilepas tanpa membuka aurat (misalnya sandal atau jaket) dan langsung lepas dan lanjutkan salat, sebagaimana contoh Nabi.

- Jika tidak bisa dilepas, dan ada waktu serta pakaian suci, dapat mengulang salat setelah bersih.

Jika semua pakaian najis dan tidak ada pilihan
Sebagian ulama mengatakan:

- Salat tanpa pakaian (menutup aurat sebisanya) lebih utama,daripada salat dengan pakaian najis.

Namun semua sepakat bahwa salat tidak gugur, apa pun kondisi yang dihadapi.

3. Dasar Dalil dan Kaidah Fikih

Syariat memberikan kemudahan ketika seorang mukmin berada dalam kondisi sulit. Aturan yang berlaku pada situasi normal tidak dipaksakan ketika pelaksanaannya mustahil.

Kaidah Fikih

Dua kaidah besar menjadi fondasi:

1. الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَات

“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang asalnya terlarang.

2. ”الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِير

"Kesulitan menghadirkan kemudahan.”

Keduanya menegaskan bahwa saat bencana, kewajiban tetap berlaku, tetapi aturan dipermudah.

Dalil Al-Qur’an

QS. Al-A'raf ayat 31:

“…Pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid…”

Ayat ini menunjukkan anjuran memakai pakaian bersih dan layak. Namun, ulama sepakat bahwa Allah tidak membebani hamba dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan, terutama dalam kondisi bencana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini