Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Jum'at, 28 Maret 2025 | 16:25 WIB
Diskusi soal kerusakan lingkungan dan kejahatan satwa di Sumatera Utara. [dok Itimewa]

Korelasi Deforestasi dan Bencana Ekologis

Panut menjelaskan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa bencana ekologis yang terjadi adalah akibat menurunnya berubahnya fungsi kawasan untuk berbagai kepentingan.

"Bencana ekologis dan kejahatan lingkungan sangatbterkait. Berdasarkan data BPBD Sumut, sepanjang tahun 2024, Provinsi Sumatera Utara mengalami 677 kejadian bencana ekologis yakni banjir, longsor dan cuaca ekstrim," ungkapnya.

Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana paling dominan dengan 237 kejadian, menghanguskan 2.638,265 hektare lahan. Tercatat, 63 jiwa meninggal dunia, 176 jiwa terluka, 4.878 jiwa mengungsi, dan 297.241 jiwa menderita akibat bencana tersebut.

Tiga bulan pertama di tahun 2025, sudah terjadi sembilan bencana banjir bandang dan longsor. Kabupaten yang paling terdampak antara lain Deli Serdang, Tapanuli Selatan, Karo, dan Mandailing Natal.

Sepanjang 2024, data Pusdalops BPBD Sumut mencatat 63 jiwa meninggal dunia, 176 jiwa terluka, 4.878 jiwa mengungsi, dan 297.241 jiwa menderita akibat bencana tersebut.

"Sedangkan tahun 2025, 3 bulan ini sudah terjadi 9 kejadian banjir dan longsor, gempa bumi. Dan belakangan kita dapat laporan dari KSPPM, Auriga, AMAN dan JAMSU bahwa banjir bandang di Parapat diduga akibat dari hilangnya tutupan hutan atau deforestasi," ucapnya.

Ancaman Perdagangan Satwa Liar

Direktur Konservasi Orangutan Information Centre (OIC), Indra Kurnia mengatakan, berbicara aspek penegakan hukum dalam kasus perburuan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar (TSL), banyak yang perlu diperhatikan.

Pihaknya memantau tren kasus kejahatan satwa yang disidangkan di Sumatera Utara dan Aceh. Dilihat dari pusat informasi yang aksesnya terbuka untuk umum yakni Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), pihaknya mendapatkan banyak temuan.

Load More