Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Jum'at, 28 Maret 2025 | 16:25 WIB
Diskusi soal kerusakan lingkungan dan kejahatan satwa di Sumatera Utara. [dok Itimewa]

"Begitupun dalam hal pembayaran mereka menggunakan rekening bersama (rekber) sehingga sulit dilacak ini siapa pelaku yang terlibat," katanya.

Motode Penyelundupan

Dalam hal transportasi TSL, para pelaku menggunakan banyak cara. Mulai dari bandara, pelabuhan dan jalur darat. Mereka juga mengelabui petugas dengan menyamarkan isi dalam paket yang dikirim.

"Mereka juga menggunakan dokumen palsu untuk menyamarkan. Kita sudah lihat yang dulu satwa diangkut dengan pipa, kardus, kota dan lain sebagainya," katanya.

Indra menambahkan, dalam hal penyimpanan TSL, pelaku menyembunyikan di tempat rahasia, misalnya gudang transit di dekat pelabuhan, jika akan dikirim ke luar negeri jalur laut.

Menurut Indra, pada kasus TSL, masih ada tantangan lemahnya penegakan hukum. OIC mencatat masih banyaknya hukuman ringan untuk kasus besar. Hukuman paling tinggi adalah 4 tahun di Pengadilan

Menurut Indra, hukuman yang ditimpakan masih ringan dibandingkan kerugian nilai ekologis yang hilang. Data Ditjend Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan IPB pernah menghitung kerugian negara akibat perdagangan ilegal satwa liar periode 2016-2024 mencapat Rp 600 miliar untuk Sumatera Utara dan Aceh.

Sementara itu, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, M. Alinafiah Matondang mengatakan, pihaknya pernah menerima kuasa untuk menggugat perusahaan yang menjalankan kegiatan konservasi tanpa izin.

“Secara hukum, subjek hukum itu ada dua: individu dan badan hukum. Tapi dalam kajian waktu itu, satwa juga bisa diposisikan sebagai subjek hukum. Ini menjadi perkembangan menarik dalam hukum lingkungan,” ujarnya.

Namun, penegakan hukum lingkungan masih banyak tantangan seperti sulitnya pembuktian. Di Indonesia, dalam sistem hukum pidananya masih mengandalkan lima alat bukti konvensional, yakni keterangan saksi, ahli, bukti surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Load More