SuaraSumut.id - Endah Sapta Ningsih alias Naning harus kehilangan suaminya Yuniawan Wahyu Nugroho atau Wawan pada 26 Oktober 2010.
Sang suami yang merupakan wartawan Vivanews tewas dalam erupsi Gunung Merapi. Wawan kala itu hendak mengajak Mbah Maridjan turun ke tempat yang lebih aman. Namun, wedus gembel terlebih dulu menghampiri mereka.
Wawan meninggal di usia 42 tahun bersama Mbah Maridjan dan seorang anggota PMI bernama Tutur di depan rumah Mbah Maridjan.
Sejak meninggalnya sang suami, Naning berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan kedua putrinya. Banyak masalah dan ujian yang dilalui Nanin bersama putrinya. Krisna, putri keduanya, sempat mengalami koma selama empat hari dan dirawat di ICU setelah melahirkan anaknya.
Kurang lebih selama satu jam SuaraJogja.id berbincang dengan Naning membahas mengenai tragedi 10 tahun lalu itu, hingga kehidupannya saat ini bersama dengan kedua anaknya.
Baca Juga:Masyarakat Siagakan Barak, Aktivitas Gunung Merapi: Waspada Level II
Naning banyak bercerita bagaimana kondisi saat itu hingga perjuangannya membesarkan dua orang putrinya.
Berikut wawacara ekslusif SuaraJogja.id dengan Bu Naning, istri wartawan Vivanews yang meninggal saat hendak menyelamatkan Mbah Maridjan.
Sudah berapa lama suami ibu bekerja sebagai wartawan?
Sudah cukup lama ya, di Suara Pembaharuan itu ada 12 tahun. Kemudian masuk ke Vivanews, waktu itu istilahnya "babat alas". Entah kenapa waktu mau launching dia malah keluar. Kemudian pernah di Koran Jakarta, tidak lama hanya beberapa bulan. Kemudian ditarik lagi ke Vivanews.
Saat itu seperti apa kondisi ibu dan keluarga?
Baca Juga:Aktivitas Gunung Merapi Meningkat, Barak di Cangkringan Disiagakan
Waktu itu memang kita pisah, saya di Ambarawa, dia di Jakarta. Biasanya satu minggu sekali dia pulang, tapi maksimal dua minggu sekali dia pulang. Waktu mau liputan ke Mbah Maridjan itu dia memang bilang saya.
Saya juga simpang siur mendengar bahwa Mbah Maridjan maunya dengan suami saya, tapi ada yang bercerita, sejak 2006 memang sudah dekat dengan Mbah Maridjan, setelah peristiwa gempa Bantul.
Seberapa dekat Pak Wawan dengan Mbah Maridjan?
Sejak 2006 itu sudah liputan dengan Mbah Maridjan. Banyak teman-teman yang cerita, sejak saat itu sudah dekat. Katanya [Mbah Maridjan] itu kalau tidak dekat duduknya dengan wartawan, berhadap-hadapan, tapi kalau suami saya duduk di depannya begitu dicari, disuruh duduk di sampingnya. Ketika peristiwa Merapi juga katanya tidak mau kalau yang naik bukan suami saya.
Kenangan apa yang sempat dilakukan bersama sebelum peristiwa tersebut?
Seminggu sebelumnya pulang, ulang tahun Krisna. Jadi memang dia pulang, dia biasanya datang Sabtu. Jadi ulang tahun Krisna kita jalan-jalan seharian ke Semarang, makan-makan cari kado.
Waktu itu dia memang bilang malas sebenarnya liputan ke Mbah Maridjan. Saya bilang, "ya sudah enggak usah liputan." Dia bilang, Mbah Maridjan enggak mau kalau bukan dia.
Teman-temannya juga bercerita kalau biasanya untuk liputan itu dibelikan tiket pesawat pulang dan pergi secara langsung, tapi dia enggak mau. Dia bilang minta dibelikan tiket sekali jalan saja, harus mampir ke Ambarawa untuk menengok anak dan istri.
Kita jarang bertemu, enggak ada firasat juga. Kita bisa bertemu satu minggu sekali saja saya sudah syukur sekali. Jadi untuk waktu dikatakan kurang ya tidak, dikatakan berlebihan ya tidak. Kalau dia pas lagi libur dia memang full mau buat keluarga, dia tidak mau liputan.
Kalau firasat sih, 10 hari sebelumnya memang dia cerita, bapak ibunya kan sudah meninggal ya. Dia mimpi nyopir sama bapak dan ibunya, orang tuanya beli mobil baru. Saya tanya ke mana, dia jawab beli sarapan.
Saat peristiwa terjadi, posisi Bu Naning sedang di mana dan bagaimana situasinya?
Posisi saat itu saya ada di rumah, Selasa sore saya di Ambarawa. Saya setiap sore selalu kegiatan gereja, tapi enggak tahu kenapa hari itu saya absen, saya ingin di rumah saja. Ayah saya itu tanya "ke gereja tidak?" Saya jawab mau di rumah saja. Terus ayah saya itu minta diantarkan, ya sudah saya antarkan. Saya antar Bapak Ibu, di jalan itu ada missed call terus, itu antara jam 18.00 hingga 18.30 WIB. Itu BBM ya saya bilang di grup, telepon saya kira kira 30 menit lagi, saya di jalan.
Sampai di rumah saya ditelepon, ditanyai nomor suami saya yang mana, saya bilang yang ini, yang lainnya lagi, yang ini, yang lain lagi, yang ini, gitu kata saya. Terus dibilang kalau enggak bisa dihubungi, terus saya bilang memang kalau di Merapi itu susah sinyalnya. Karena sebelumnya saya juga sempat ke sana sama orang gereja, sinyalnya itu buruk.
Mungkin karena saya nyerocos terus itu ya terus dibilang "Mbak ini saya Teguh, kita kehilangan kontak, kita tidak bisa menghubungi." Saya langsung matikan, saya setel TVOne itu gambarnya sudah beda. Untuk kalut itu saya enggak karena buat saya itu bukan kepastian. Jadi saya cuma bilang ke orang tua saya begini. Saya kemudian telepon sopir saya dan mengajak ke Jogja. Jadi saya cuma posisi berdua sama sopir, saya memutuskan ke Jogja.
Saya berangkat sekitar jam 19.00 WIB. Lepas dari Secang saya mulai masuki rumah sakit, setiap rumah sakit saya masuki. Jam 20.00 WIB itu anak saya telepon, katanya "dompet Bapak sudah ketemu." Ada foto anak saya. Kemudian saya bilang ke dia, kalau itu memang dompetnya bapak, kita harus mempersiapkan kondisi yang terburuk.
Kebetulan suami saya aktif di paguyuban UGM yang buat nasrasni itu, nah saya ditelepon, ditunggu di rumah sakit yang ada di Pakem. Nah saya menunggu di situ sama sahabat saya dan sahabatnya Wawan itu. Saya duduk di trotoar itu ada tujuh ambulans turun, bener-bener saya hitung itu ada tujuh. Kemudian saya bilang ke temen saya, "Om, kok enggak ada yang belok ya." Temen saya jawab, "iya ya kok enggak ada yang belok." Baru saja temen saya mingkem itu dia dapat telepon.
Waktu itu yang saya dengar cuman, "tenan iki, wes pasti, wes pasti [benar ini, sudah pasti]’" Terus akhirnya kita turun ke Sardjito itu sekitar jam 23.00 WIB. Baru sampai itu, saya enggak tahu ditelepon sama wartawan siapa, ditunggu di forensik. Sudah mak deg itu hati saya. Yang masuk itu sopir sama sahabat saya, enggak lama kemudian keluar cuma bilang "kamu teteg [kuat hati] gak? Kalau gak teteg biar saya saja yang masuk."
Saya bilang "enggak, saya harus mastiin sendiri itu suami saya apa bukan." Saya melangkahi kantong mayat itu ada sembilan, saya buka ‘sreettt’ suamiku apa bukan ini, karena enggak kelihatan, berdebu. Rambutnya sudah hilang, telinganya berdarah, masih saya congkel-congkel itu. Itu saya punya bajunya 10 tahun yang lalu, belum saya buka. Ada di trash bag. Saya bawa ke mana-mana itu. Utuh itu, suami saya itu utuh, bagus. Orang kan salah persepsi dikiranya hancur. Akhirnya di bagian sepatu itu dibersihkan terus temennya saya nanya, "Ning ini sepatunya siapa?" Oh iya bener, sepatunya Wawan. Suamiku ini.
Saya enggak nangis, bukannya gimana, cuma enggak tahu ya, waktu itu saya enggak bisa nangis, kemudian dikeluarkan dompet ada fotonya anak-anak. Sudah itu saya keluar, diinterogasi ciri khusus dan sebagainya sampai pagi. Jam 05.00 WIB itu baru Mbah Maridjan dibawa turun. Jam 06.00 atau jam 07.00 WIB itu baru dimandikan. Saya ditanyai, "mau lihat apa enggak?" Saya bilang enggak mau. Saya cuma lihat dari kejauhan. Cuma badannya kan keras to karena dia posisi lagi mangap karena lagi telepon.
Itu saya dikasih rekamannya itu, dia bilang ‘panasss’ gitu terus 'lep' hilang. Dia mangap dan tangannya begini [membentuk siku seperti tangan saat sedang menelpon], terus dipatah. Waktu dimandikan, mungkin tegangannya tinggi jadi memang ngelupas semua. Begitu di peti sudah ditutupi kapas, itu pokoknya tubuhnya kan pakai [kaus] lengan pendek, yang tertutup itu bagus, yang terbuka itu melepuh.
Sekitar jam 09.00 WIB itu saya bawa pulang pakai ambulans dari Angkatan Udara, jadi cepet. Itu hari Rabu, terus dimakamkannya Kamis.
Sebelum insiden terjadi, apa kabar terakhir yang Ibu dapat dari suami?
Suami saya itu kebiasaan kalau liputan selalu bilang, "nanti kalau sudah selesai saya telepon." Jadi waktu itu dia telepon, "saya itu keluar kantor sekitar pukul 13:30 WIB" kalau enggak salah, kemudian landing jam 16.00 WIB itu, terus dia bilang mau ketemu orang di Kentungan. Sudah itu terakhir komunikasi. Enggak kontak saya lagi, dan ada beritanya itu jam 17:00 WIB.
Katanya sudah naik, terus denger suara gemuruh gitu terus turun, istilahnya bawa pengungsi. Anaknya atau cucunya Mbah Maridjan itu saya enggak tahu. Pas turun dia lihat ada mobil nganggur, di dalamnya ada Pak Tutur yang dari PMI, terus diajak naik mau. Jadi pas di depan rumah Mbah Maridjan itu ya sudah. Katanya posisi mobil masih menyala, pintu sudah terbuka semua, sudah siap turun, tapi itu, ya pas ada wedus gembel.
Jadi pas saya dikasih rekamannya ini, ada suara "Wan itu ada suara sirene," terus dia jawab, "iya ini baru mau turun." Mau turun, terus suami saya teriak "panas panas" gitu, sudah, terus ilang, sudah enggak ada. Posisinya memang di depan rumah Mbah Maridjan.
Apa yang Ibu ingat tentang yang Ibu rasakan ketika mengetahui kondisi suami seperti itu?
Jujur sih biasa saja, karena saya enggak pernah selalu berdua walaupun dia pacaran sama saya lama ya, delapan tahun, sejak kelas dua SMA. Setiap kali pulang, dia pergi melangkah gitu, begitu keluar berarti saya harus merelakan dia. Mungkin karena waktu saya tidak pernah selalu berdua ya, tapi kehilangan iya jelas. Cuma kalau lihat di rumah ada meja kerjanya dia, itu kok, "sek duwe wes ora bali meneh [yang punya enggak kembali lagi]".
Hari pertama enggak sih karena masih banyak orang. Setelah seminggu itu ya baru kerasa. Sampai waktu mau dimakamkan itu kan anak saya yang kecil itu mau ikut nyemplung. Nah di situ yang membuat saya ambyar, ini saya nangis. Saya bilang sama anak saya yang besar ini, saya bisa. Terus anak saya yang besar cuma bilang, "bisa bu." Ya sudah ya jadi gitu, kerasa kehilangan setelah seminggu, rasanya enggak enak saja. Biasanya pulang, ini kan enggak.
Setelah suami tidak ada, bagaimana ibu dan keluarga menjalani hidup?
Biasa saja sih, saya gak mau berlama-lama di rumah. Setelah selesai, saya kembali dengan kesibukan saya. Kalau terlalu lama di rumah juga kan saya nglangut [terhanyut dalam suasana sedih], jadi saya langsung lanjutkan kegiatan saya. Saya juga dapat beasiswa untuk anak-anak saya setiap bulan selama lima tahun.
Anak yang kecil, karena semua orang tahu dia anaknya Wawan, jadi minta pindah sekolah ke Jogja. Akhirnya pindah ke sini, dia senang karena teman-temannya enggak ada yang tahu dia anak wartawan. Dia jadi bisa enjoy lagi. Ya kalau kehidupan biasa saja. Begitu banyak orang yang membantu saya. Jadi benar-benar me-manage uang yang sudah dikasih banyak orang. Setiap acara setiap orang tanya uangnya buat apa, ya saya jawab buat anak-anak saya.
Mungkin sekarang saya baru bisa bilang ya, ini lo buktinya uang ini buat mereka. Anak saya sudah pada kerja, pendidikannya sudah dapat yang terbaik, jadi saya bisa bilang, saya kehilangan materi tidak apa-apa, tapi saya bisa mengatakan, "ini lo anak saya sudah jadi orang." Sedikit banyak saya sudah bisa berbangga. Ini anak dengan hidup cuma sama saya, jadi sebisa mungkin ya saya harus bisa mewujudkan mimpinya Wawan.
Seperti anak yang besar itu di (Universitas) Padjajaran ambil Sastra Rusia, terus bapaknya itu pernah bilang, "kamu jangan hanya ngambil pelajaran saja, tapi kamu harus bisa sampai negaranya," akhirnya dibuktikan ambil S2, kemudian selesai.
Kalau orang bilang, "sudah 10 tahun ya, tidak terasa." Iya kamu tidak menjalani, saya yang menjalani ya kerasa. Dibilang berat ya berat, dibilang enteng ya enteng gitu to. Ya sudahlah, disyukuri saja, memang ini garis hidup saya seperti ini, tapi mungkin waktu itu Wawan ninggal saya sudah mantep gitu ya.
Jadi Wawan meninggal itu 26 Oktober 2010, 35 hari kemudian itu bapak saya meninggal. Lalu setelah itu, kehidupan saya jalani seperti biasa. Cuma waktu itu memang Tuhan lagi membentuk saya, maksudnya masih menguji saya. Lalu setelah enam bulan, anak saya yang besar itu masuk ICU itu ada sekitar dua minggu. Banyak hal memang dalam kehidupan ini harus saya jalani. Namun di atas itu semua banyak hal yang harus saya syukuri. Mungkin saya kehilangan orang yang mengasihi saya dan saya kasihi, tapi kalau di agama saya, "jangan hanya melihat kedukaan yang kita hadapi, tapi lihat apa yang sebenarnya di balik peristiwa ini."
Tidak mudah karena saya seorang diri, dengan dua orang anak perempuan, di mana godaan zaman itu juga demikian hebatnya. Kemudian saya juga harus adil, di mana saat itu saya harus nengok anak saya di Bandung, tinggalkan anak saya yang kecil. Membagi waktu. Mungkin orang melihatnya enak.
Banyak yang bilang Wawan itu mati konyol, tapi bagi saya enggak, jarang ada orang yang mau berkorban seperti dia, tapi saya tidak pernah mendengarkan kata orang karena kalau kata orang itu kita simpan, yang sakit itu kita sendiri.
Setelah peristiwa itu, apakah Ibu mengalami trauma? Bagaimana upaya untuk berdamai dengan itu?
Trauma ya pasti ada, tapi enggak yang gimana gitu ya. Takut pasti, tapi ya harus menguatkan diri sendiri. Kalau saya nangis-nangis kan kasihan anak saya. Jadi gimana saya harus menahan. Ya sudah kita terima saja. Kalau kita menghadapi situasi, Tuhan enggak mau kasih kita cobaan atau apa, Tuhan cuma mau tahu "kamu bisa enggak melewati ini." Banyak masalah datang dan pergi, tapi ya bersyukur kita bisa melewati ini. Saya sudah melewati ini bukan sehari dua hari, sudah bertahun-tahun. Sekarang saja bisa, besok juga pasti bisa.
Kalau berkunjung ke Merapi, bagaimana perasaan Ibu?
Engggak ada masalah, tapi waktu lihat fotonya Wawan di Museum Mbah Maridjan, saya bisa ndeprok [terduduk di tanah], enggak bisa berdiri. Saya dibopong temen saya, dibilang, "ndadak rene barang ke yo ngopo [pakai ke sini segala itu ya ngapain]," tapi yang namanya mengumpulkan keberanian kan ya.
Sebelum pandemi sempat ajak anak-anak. Engak ada masalah kalau anak yang besar. Anak yang kecil enggak mau. Anak kecil langsung duduk di pendopo depan rumah Mbah Maridjan. Dia enggak mau. Anak yang kecil dekat sekali dengan ayahnya.