SuaraSumut.id - Walhi Sumut mendesak pemerintah mengambil langkah tegas terhadap PT TPL yang sejak kehadirannya di wilayah Danau Toba telah membawa dampak, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat adat.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut Doni Latuparisa mengatakan, sejak masih bernama PT Inti Indorayon Utama, kehadiran perusahaan itu telah menimbulkan masalah sosial yang kompleks. Seperti perampasan tanah di Desa Sugapa, pencemaran udara, pencemaran air, hingga perambahan hutan.
"Tentunya dengan total luas izin konsesi yang diberikan kepada PT TPL ini akan sangat menjadi ancaman. Tidak hanya perampasan ruang hidup masyarakat, ancaman bencana ekologis sewaktu-waktu bisa saja terjadi dan laju deforestase kawasan hutan yang sangat masif dilakukan, akan menghasilkan dampak multidimensi yang berkepanjangan," kata Doni, Jumat (2/7/2021).
Diantara ancaman yang menjadi sorotan Walhi Sumut adalah kondisi Bentang Alam Tele. Lanskap itu memiliki fungsi ekologis yang sangat penting untuk kawasan Danu Toba.
Baca Juga:Pesimis PPKM Darurat Efektif, Epidemiolog: Lihat Implementasi Sepekan di Lapangan
Bentang Tele, kata Doni, merupakan kawasan hutan hutan terakhir yang masih memungkinkan untuk di selamatkan. Hal itu penting dilakukan untuk memastikan keberlanjutan stabilitas iklim dan debit air Danau Toba.
Apalagi Bentang Tele juga berfungsi memastikan keselamatan puluhan desa yang ada di pinggiran Danau Toba. Desa-desa yang ada di lembah Samosir menggantungkan hidup dari kelestarian hutan karena menjadi sumber pengairan sawah dan kebutuhan air bersih. Kerusakan hutan Tele berpotensi menimbulkan longsor di sepanjang tebing dimana warga hidup dan berpenghidupan.
"Saat ini Bentang Tele sedang menghadapi ancaman oleh PT TPL. Kurang lebih ada 68 ribu hektar konsesi perusahaan tersebut hadir di Bentang Tele," ungkapnya.
PT TPL juga diduga melakukan pelanggaran yang merugikan negara. Hal itu berdasarkan artikel hasil investigasi sejumlah media yang tergabung dalam Indonesialeaks, yang mengungkap adanya transaksi fiktif sebuah perusahaan pulp and paper. Artikel tersebut dimuat dalam majalah tempo pada Februari 2020 lalu.
Diketahui, PT Toba Pulp Lestari sampai saat ini memiliki konsesi seluas 269.060 hektar yang tersebar di 11 Kabupaten. Diantaranya di Simalungun, Asahan, Toba Samosir, Samosir, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Pakpak Barat, Padang Lawas Utara dan Humbang Hasundutan.
Baca Juga:Emosi! Emak-emak Jember Korban Arisol 'Geruduk' Kantor Polisi, Kerugian Miliaran
Perusahaan ini mengantongi izin SK MENHUT No. SK.493/Kpts/II/1992 dengan periode izin mula tanggal 1 Juni 1992 hingga 31 Mei 2035 (43tahun). Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, sudah banyak tindakan anarkis yang dilakukan oleh pihak PT TPL kepada masyarakat setempat.
"Pertama tahun 2019 di Siaphoras yang berujung pada pidana. Kemudian yang terakhir di Natumingka berujung pada luka-luka akibat bentrokan antara pihak keamanan perusahaan dengan masyarakat adat," katanya.
Walhi Sumut sangat menyayangkan jika pemerintah membiarkan kasus perusahaan perampas wilayah-wilayah adat dan perusak lingkungan tersebut masih beroperasi.
"Nah, harusnya negara ketika ini sudah terjadi, ketika ini kerugian yang disebabkan perusahaan harusnya negara juga bijak segera mengevaluasi izin dari yang diberikan oleh perusahaan ini," pungkasnya.
Kontributor : Muhlis